Dalam beberapa hari publik diramaikan tentang tulisan disebuah mural, media cetak baik online maupun cetak membuat beritanya. mural sebagai sebuah seni jalanan Art deco, adalah sarana sebagaian seniman dalam mengungkapkan ekpresinya tentang sosial budaya tentang pengalaman hidupnya, sebagai sebuah seni mural baik-baik saja, berbagai sudut di kota besar seperti Jakarta dan bandung mural malah bisa mempercantik dan memperindah sebuah kota.
Ketika mural dituangkan dalam sebuah tulisan dan ungkapan kritik terhadap pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh gambar presiden selagi tidak ada unsur penodaan dan kalimat-kalimat penghinaan secara langsung terhadap presiden sebagai lambang negara, , apalagi mengkritik sebuah kebijakan yang langsung dirasakan dampaknya terhadap masyarakat, sebagai sebuah masukan biarkan saja mural-mural ini sebagai pengingat bagi penguasa, biarkan rakyatnya mencintai pimpinannya dengan cara berbeda apa bedanya sebagaian komponen yang dekat dengan penguasa menjilati kekuasaaanya dan menikmatinya.
Presiden bukan hanya lambang negara, dia bukan benda mati , dia manusia biasa yang bisa jadi membuat kesalahan para pembantu presiden wajib mengingatkannya, kita sebagai rakyatnya punya keterbatasan dalam menyampaikan masukan, maka ktitikan sebagaimana yang termuat dalam mural anggap saja sebagai kasih sayang rakyat terhadap pimpinannya, jangan terlalu kaku dengan menerapkan hukum dan pasal yang dianggap bisa membungkam sebuah kebebasan.
Biarkan muralnya perbaiki moralnya, bangsa ini butuh tokoh-tokoh yang bisa dijadikan panutan karena akhlaq dan moralitasnya, dulu kita bangga punya tokoh-tokoh seperti bung hatta, hoegoeng, ali sadikin dan tokoh lainnya, jadikan mereka sebagai lentera bagi penguasa untuk selalu menjadikan moralitas dan memperbaiki moralnya karen itulah bangsa ini akan mengenangnya merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H