Winai Dahlan dan Pengembangan Riset Halal di Thailand
"Apakah anda bisa berbahasa Indonesia, Ajarn?" tanya rekan saya kepada Assoc. Prof Winai Dahlan, cucu langsung K.H. Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok. Sang 'Ajarn' (Professor dalam bahasa Thai) tak menjawab, ia menyanyi saja: "Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku"
"Ajarn tahu arti dari lagu Indonesia Raya itu," tanya saja takjub. Dia menjawab : "I know, I understand. I learned Bahasa Indonesia when I was still a child," ujar Ajarn Winai kalem.
Figur Winai Dahlan memang tidak terlalu asing bagi sebagian publik Indonesia. Profil-nya mudah ditemukan via search engine di internet. Cukup sering pula ia muncul di media-media Indonesia, apakah di layar kaca, cetak maupun online.
Saya-pun tidak sekali ini bertemu dengan dia. Mungkin ini kali keempat berjumpa Ajarn Winai sejak tahun 2009. Namun perjumpaan kali ini lebih personal, spesial dan lebih lama. Lebih kurang tiga setengah jam saya dan teman-teman bercengkerama dengan beliau. Sejak makan malam bersama di restoran halal MBK Mall hingga ke kantor-nya di Halal Science Center Chulalongkorn University.
Sisi menarik Ajarn Winai bukan sekedar karena ia warganegara Thailand yang merupakan cucu KH Ahmad Dahlan dan ayah ibu-nya asli Jawa (ayah asal Yogyakarta dan ibu dari Kendal bercampur darah Tiongkok). Juga bukan karena ia sangat cinta Indonesia dan besar di Kampung Jawa, Sathorn-Bangkok. Namun lebih kepada perjuangannya yang luar biasa untuk mengembangkan halal research dan halal industry di Thailand.
"Saya bekerja setiap hari dari jam enam pagi sampai jam sebelas malam, Saya meninggalkan rumah sejak habis subuh. Dua puluh tahun lalu, persisnya sejak tahun 1994, saya memulai pekerjaan besar ini seorang diri, dengan bermodalkan satu alat sederhana, tak punya laboratorium khusus, dan tak ada dukungan dana dari negara. Namun kini kami menempati tiga lantai di gedung Petroleum Building Chulalongkorn University (lantai 10, 11, 12) dan mendapat dukungan dana yang luar biasa dari universitas maupun kerajaan Thailand." Saat ini saya mempunyai staf sekitar 90 orang, semuanya Muslim dan 85% -nya perempuan. Saya juga tak paham mengapa kebanyakan staf disini perempuan," lanjut Ajarn Winai.
"Mengapa Ajarn bersemangat mengembangkan halal research di negeri minoritas Muslim ini, kami saja yang tinggal di Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, tak cukup serius mengembangkan halal industri," tanya saya agak provokatif. Muslim di Indonesia, mungkin karena merasa sebagai mayoritas dan dimana-mana Muslim, maka kesadaran halal-nya cenderung rendah," lanjut saya lagi.
"Itu berbahaya. Ketika kalian sebagai mayoritas merasa aman-aman saja dengan apa yang kalian konsumsi, that's dangerous," ujar Ajarn Winai serius. "Kami disini minoritas. Muslim Thailand sangat ekstra hati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Mungkin di Thailand Selatan lebih mudah mendapatkan akses ke makanan halal, namun di bagian selebihnya tidak. Oleh karena itu, kami sangat serius terhadap produk halal," lanjut Ajarn Winai.
"Proses halal itu mungkin dipandang oleh sebagian orang sebagai lama, mahal, kompleks, dan bahkan ada yang memandangnya sebagai bagian dari 'Islamisasi.' Silakan saja orang berpendapat apapun, Semua bebas bersuara. Namun yang perlu mereka ketahui bahwa halal itu mengajarkan kita disiplin dan tertib. Ketika semua orang sudah berdisiplin dan tertib maka gampang diatur dan dikelola, sehingga pengelolaannya malah lebih mudah dan murah. Coba lihat militer, mudah kan mengelola-nya, karena mereka kuat disiplin-nya. Kita menganggap halal itu sebagai mahal karena kita belum terbiasa saja untuk berdisiplin," papar Ajarn Winai.