Lihat ke Halaman Asli

Heru Susetyo Nuswanto

Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Warsito, Kusrin dan Hukum Responsif

Diperbarui: 21 Januari 2016   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

 

"Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Dengan adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita,"

(Warsito P. Taruno, Republika, 1/12/2015)

Dalam banyak kasus, logika produksi inovasi teknologi seringkali 2-3 langkah melampaui hukum dan kebijakan. Ketika kebijakan dan segenap perangkatnya masih terjebak dalam logika produksi ‘deret hitung’, inovasi teknologi telah memasuki fase ‘deret ukur’.  Tak pelak, hukum dan perundang-undangan terengah-engah mengejar ketertinggalannya.

Hal ini makin diperparah kondisi di mana tidak semua hukum dan kebijakan bersifat responsif dan akomodatif.  Alih-alih mengakomodasi perkembangan teknologi, acapkali hukum menjadi rigid, kaku dan positivistik; dengan mengatasnamakan kepastian hukum (certainty of law) dan formalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Contoh aktual disharmoni antara inovasi teknologi dan hukum adalah fenomena Jaket Kanker Doktor Warsito, produksi TV mandiri Kusrin dan ojek online semacam GoJek dan GrabBike yang kehadirannya membuka ruang dialektika dan kontroversi dengan hukum dan kebijakan di Indonesia.

  

Jaket Kanker Warsito dan TV Kusrin

Mereka yang mengenal Warsito Purwo Taruno, mengenal beliau sebagai fisikawan Indonesia alumnus Jepang adalah penerima penghargaan BJ Habibie Technology Award (BJHTA). Penghargaan ini diberikannya karena temuan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECTV) yang  merupakan pendeteksi kanker otak dan payudara   (Republika, 1/12/2015).  Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker yaitu  Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Aplikasi ini telah didaftarkan paten Indonesia pada 2012.  

Adanya ECVT dan ECCT adalah harapan besar terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. ECCT sendiri kini telah menjadi harapan baru bagi mereka yang telah (divonis) tanpa harapan (Hope for No Hope) dalam metode pengobatan kanker. Semisal kasus kanker di tengah batang otak, masih mungkin 'dibersihkan' dengan ECCT. Kedua teknologi ini  tidak ada referensinya di dunia luar. Ini karena keduanya lahir di Indonesia dan pertama di dunia (Republika, 1/12/2015).

Semenjak keberhasilan jaket kanker-nya pada beberapa pasien, dan profilnya diangkat ke dalam media nasional, pasien pun berbondong. Akhir 2011, tak kurang dari 70-80 penderita kanker tiap hari mendatangi tempat penelitian Dr. Warsito yang berlokasi di daerah Tangerang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline