Lihat ke Halaman Asli

Handoko Suhardi MD PgDip

Medical Doctor | Postgraduate Diploma in Preventive Cardiovascular Medicine

Kopi dan Hipertensi: Membongkar Kepercayaan Lama

Diperbarui: 12 September 2022   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masih banyak dokter dan perawat di fasilitas pelayanan primer di Indonesia yang melakukan edukasi anti kopi untuk pasien-pasien penderita hipertensi. Edukasi ini diteruskan oleh setiap pasien ke keluarganya, hingga menjadi suatu 'pengetahuan umum' di kalangan awam bahwa kopi dapat meningkatkan tekanan darah. Sekitar 70 tahun yang lalu marak penelitian kedokteran(1) yang menunjukkan bahwa kafein yang terkandung dalam kopi, memiliki efek yang kuat terhadap katekolamin plasma dan renin. Aktivitas kafein ini menyebabkan dominansi simpatik yang akhirnya menyebabkan peminumnya merasa berdebar, lebih aktif, dan juga meningkatkan tekanan darah.

Pada April 2004, American Heart Association sudah mempublikasikan sebuah jurnal oleh Hartley, dkk(2) mengenai hubungan kafein dan tekanan darah, tentu saja dengan pro dan kontranya. Dalam artikel tersebut,(3) disebutkan bahwa kopi mungkin dapat meningkatkan tekanan darah di 1-3 jam pertama pasca konsumsi. Namun kemudian, tekanan darah akan mulai kembali normal. Bahkan beberapa penelitian yang meneliti konsumsi kopi secara kronis (jangka panjang) menunjukkan bahwa kopi tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah. Sejak itu pula banyak sekali penelitian yang dilakukan oleh berbagai negara untuk menguji hubungan antara keduanya. Hasilnya dapat dikatakan mengejutkan. Kopi tidak terbukti meningkatkan tekanan darah.

Dalam Evidence-Based Medicine, meta analisis dan systematic review menempati posisi teratas dalam piramida kualitas dan reliabilitas suatu studi. Pada tahun 2011, American Journal of Clinical Nutrition menerbitkan systematic review and meta analisis yang ditulis oleh Mesas, dkk, yang menyimpulkan bahwa konsumsi dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu 3 jam atau lebih, namun tidak meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular secara keseluruhan. Dalam studi tersebut dikatakan bahwa peningkatan tekanan darah pun tidak terjadi setelah 2 minggu atau lebih konsumsi rutin kopi, yang memunculkan hipotesis-hipotesis bahwa tubuh kita mampu beradaptasi terhadap efek pro-hipertensif kafein. Hal ini kemudian semakin memancing penelitian-penelitian di berbagai negara mengenai hubungan antara kopi dan tekanan darah.

Sejak tahun 2018, sebuah meta analisis dan systematic review yang diterbitkan oleh Chen Xie, dkk(4) dalam Journal of Human Hypertension telah diakses lebih dari 800 kali. Studi tersebut menyimpulkan bahwa konsumsi kopi berbanding terbalik dengan risiko hipertensi dalam hubungan dosis-respons.

Studi Chen Xie, dkk yang melibatkan 247.659 partisipan dan 54.639 kasus insidensi hipertensi ini dapat dikatakan membuat banyak dokter-dokter di dunia, membelot dari tim anti kopi, menjadi tim pro kopi. Kardiolog, Neurolog, Internis, dan Nutrisionis mulai berhenti melarang kopi dan berhenti mengaitkannya dengan tekanan darah. Tidak tanggung-tanggung seperti penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan kopi dan tekanan darah, studi ini dengan tegas menyatakan bahwa mereka menemukan risiko hipertensi berkurang 2% (RR = 0,98. 95% CI 0,98 -- 0,99) untuk setiap konsumsi 1 cangkir kopi per hari. Dengan model spline kubik linier, risiko relatif hipertensi adalah 0,97 (95% CI 0,95-0,99), 0,95 (95% CI 0,91-0,99), 0,92 (95% CI 0,87-0,98), dan 0,90 (95% CI 0,83). --0,97) masing-masing untuk konsumsi 2, 4, 6, dan 8 cangkir / hari, dibandingkan dengan orang yang tidak mengonsumsi kopi. Ini artinya, semakin banyak konsumsi kopi semakin tekanan darah malah turun.

Di Indonesia sendiri, penelitian-penelitian serupa sudah banyak dilakukan(5--7) dan juga menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Tidak ditemukan hubungan yang berarti antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi.

American Heart Association, pada Februari 2021 menerbitkan sebuah jurnal yang dibuat oleh Stevens, dkk (8) yang mengidentifikasi beberapa faktor risiko pola makan dan perilaku terhadap outcome penyakit kardiovaskular, termasuk status perkawinan, konsumsi daging merah, konsumsi susu murni, dan konsumsi kopi. Penelitian ini seakan memperkuat dugaan efek baik kopi dengan menyatakan bahwa di antara variabel diet ini, peningkatan konsumsi kopi berhubungan dengan penurunan risiko jangka panjang gagal jantung.

Konsumsi kopi dapat meningkatkan aktivitas simpatis 1-3 jam pertama setelah minum kopi, yang lamanya respons simpatis pada masing-masing orang ini, sangat tergantung dengan gen-terkait-metabolisme kafein. Hal ini berkaitan dengan kerja kafein terhadap hormon katekolamin, yang kemudian memengaruhi juga aktivitas hiperinsulinemia dan resistensi insulin, yang keduanya dapat menyebabkan retensi garam, mendukung aktivasi saraf simpatis dalam meningkatkan tekanan darah. (3)

Meskipun kopi dengan kafeinnya dapat meningkatkan aktivitas simpatis, pada akhirnya efek ini akan berakhir, dan efek yang baik akan muncul. Selain kafein, kopi juga mengandung vitamin E, niasin, potasium, dan magnesium. Kopi juga mengandung polifenol, salah satu sumber antioksidan, yang mungkin memberikan efek anti hipertensi. Salah satu dari polifenol ini, yakni asam klorogenik, memiliki efek anti inflamasi, anti kanker, anti diabetes, dan anti hipertensi.(8,9) Polifenol juga memiliki kemampuan untuk mencegah kerusakan endotel dan mempromosikan sintesis nitric oxide yang telah lama diketahui merupakan salah satu komponen biokimia vasodilator dalam tubuh kita. Perlindungan endotel pembuluh darah mencegah terbentuknya plak aterosklerosis yang selain menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku akibat cap sklerosisnya, juga merusak fungsi otot polos pembuluh darah. (8--10)

Meski penelitian-penelitian tersebut sudah mencapai tahap systematic review dan meta analisis, sebagai ilmuwan, dokter juga harus berpikir kritis mempertimbangkan segala bias dalam penelitian di dunia gizi dan nutrisi, mulai dari apakah proses peer reviewing sudah memastikan para peneliti bukanlah dokter-dokter penikmat kopi? Apakah pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi, atau sekadar penggunaan kuesioner? Bagaimana para peneliti mengurangi bias informasi seperti recall bias, interviewer bias, dan Clever Hans effect? Bukankah penikmat kopi akan cenderung berpikir kopi tidak berbahaya untuk dirinya? Bukankah perokok akan cenderung berpikir rokok tidak berbahaya untuk dirinya?

Terlepas dari itu semua, penulis tetap merekomendasikan praktik kedokteran klinis yang berbasis Evidenced-Based Medicine. Edukasi personal dan kelompok adalah juga bagian dari seni praktik seorang dokter, namun Evidenced-Based Medicine harus tetap dipegang teguh sebagai seorang life-long learner.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline