Lihat ke Halaman Asli

Tukang Becak Rindu Mengayuh

Diperbarui: 6 Januari 2017   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Menunggu, layaknya memancing ikan di Lautan Pasifik. Tukang-tukang becak itu terduduk lesu di atas becak yang seharusnya mereka kayuh untuk menghidupi anak dan istrinya. Beberapa tertidur dan ada pula yang sesekali menawarkan jasanya kepada mereka yang tak sengaja lewat. Bila dulu becak menjadi salah satu transportasi yang digemari, apalagi setelah menemani ibu berbelanja ke pasar di pagi hari. Kini becak bahkan tak lagi dilirik oleh kawula muda yang lebih memilih kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan oleh penyedia transportasi online seperti Gojek ataupun yang sejenisnya. 

Walau memang bisa dikatakan tarif becak yang relatif mahal, harusnya itu tak lagi jadi kendala jika melihat usaha dan tenaga yang dikeluarkan para pengayuh becak ini. Bahkan penggunaan becak yang terbukti ramah lingkungan tanpa polusi asap kendaraan tak juga menjadi nilai positif di beberapa kalangan. 

Beberapa bahkan beralasan akan memakan waktu yang lama untuk becak mencapai tepat yang ingin dituju. Banyak sekali alasan yang bisa dikeluarkan untuk melupakan transportasi yang umumnya ditemukan di Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya. Ditambah pula kenyamanan dan kemudahan dalam memesan ojek online membuat pengguna jasa transportasi tak lagi menjadikan becak menjadi daftar pertimbangan transportasi yang akan mereka naiki. 

Tukang becak seakan tersudutkan oleh zaman yang tiba-tiba berubah tanpa permisi. Seakan tak berbudaya dan tak memiliki sopan santun, teknologi yang dulu hanya dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu pribadi (re: update status) belaka menjadi tentara tak bertuan yang siap mencekal para penyedia bisnis barang ataupun jasa yang tak update oleh zaman. 

Tukang becak seakan bungkam karena tak lagi ditemukan pengguna jasanya yang biasanya berlalu lalang di jalan. Para pengguna jasa itu sekarang lebih memilih duduk santai di dalam kafe-kafe menunggu ojek jemputannya yang dipesan hanya melalui telepon genggamnya secara online. Sebenarnya tak ada salahnya jika para pebisnis kreatif ini memanfaatkan teknologi untuk memutarbalikkan dunia menjadi pundi-pundi rupiah pemasukannya, toh sama-sama duit halal. 

Namun, ada satu hal yang menggelitik. Saat Forum Komunikasi Keluarga Becak (FKKB) di Solo melakukan demo besar-besaran terkait fenomena yang terjadi belakangan, menuntut pemerintah mencabut ijin ojek online sesegera mungkin lantas akan memutarbalikkan keadaan menjadi sedia kala? Akankah kenyamanan para pengguna dengan mudah dikembalikan menjadi usaha susah payah mencari angkutan umum bernamakan becak di terik matahari? Tentu saja tidak, mereka sudah dimanjakan oleh kemudahan teknologi yang mematikan perekonomian para tukang becak. 

Di era global serba MEA, atau singkatan Masyarakat Ekonomi Asean ini bahkan setiap pebisnis dan pengusaha harus rela memutar otak untuk kelangsungan bisnis mereka. Tak bisa terduduk diam menunggu pelanggan datang menghampiri, Tak perlu lagi memiliki untuk sekadar memiliki sebuah perusahaan, dan tak mungkin lagi menuntut pemerintah memutuskan izin teknologi. 

Seharusnya ada yang bisa dilihat dan dinilai lebih oleh tukang becak hingga pemerintah, akan kehadiran teknologi pengubah zaman ini. Bayangkan saja Gojek, Grab, Uber dan perusahaan aplikasi sejenisnya tak memiliki satu kendaraan pun, namun bisa dengan mudah mendominasi pasar Indonesia. Konsep baru dalam berbisnis yang ditawarkan oleh pergantian zaman sebenarnya. 

Mungkin suatu hari akan datang sebuah platform kreatif penyedia jasa becak online ataupun becak pariwisata contohnya, yang tidak hanya menghidupkan kembali tukang becak yang tak boleh lagi beroperasi karena disruption zaman teknologi ini, namun juga sebagai wadah kreatif kawula muda untuk menjaga kekayaan transportasi negara Indonesia kita tercinta agar bisa diperkenalkan kembali untuk anak-cucu kita kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline