Lihat ke Halaman Asli

Hasan Nur Aminudin

Just Look Around 🌏

Fundamentalisasi Islam, Upaya Gagal Membangkitkan Peradaban

Diperbarui: 4 Desember 2018   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ibnu Sina. Salah satu tokoh perlambang masa keemasan dunia Islam | Sumber gambar: thenational.ae

Saat ini, Saya kira tak ada yg menyangkal bahwa Dunia Islam sungguh-sungguh tertinggal dari Dunia Barat. Negara-negara Muslim hanya menjadi negara dunia ke-3 yg masih berkutat pada masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan bahkan pertikaian sesama Umat Islam sendiri. Dunia Islam seperti sedang terjerembab di dalam sumur sehingga alih-alih mengejar ketertinggalan, untuk keluar dari sumur saja dirasa sangat kesulitan. Padahal sejarah mencatat Dunia Islam pernah mencapai masa kejayaan dan menjadi pemimpin peradaban. Lantas mengapa kini Dunia Islam hanya menempati urutan belakang?

Jika kita menilik ke belakang, setidaknya ada dua masa dimana Dunia Islam mengalami pukulan telak dalam kontestasi peradaban. Yang pertama adalah kemunduran Kekhalifahan Abbasiyah yg puncaknya adalah runtuhnya Khilafah akibat serangan Bangsa Mongol. Yang kedua adalah kemunduran Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) yang puncaknya adalah lenyapnya Khilafah pasca perang dunia pertama (WW1). Dua kejadian tersebut adalah check point penting yg membuat Umat Islam tersadar dan kembali berpikir bahwa ada sesuatu yg harus diperbaiki dalam kehidupan umat.   

Kita tahu bersama bahwa Dunia Islam pada abad pertengahan adalah penerima tongkat estafet tradisi pengetahuan Yunani. Pada masanya ilmu pengetahuan tumbuh subur, bukan hanya pengetahuan mengenai agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti filsafat, mantiq (logika), kedokteran, matematika, kimia, fisika, biologi, astronomi, geografi, seni, sastra, dan banyak lagi. 

Ilustrasi geliat riset dunia Islam abad pertengahan | Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Science_in_the_medieval_Islamic_world

Jatuhnya Kota Baghdad pada abad 13 ke tangan Bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran Peradaban Islam. Sebab Baghdad saat itu sebagai pusat Peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan ikut lenyap dibumihanguskan Bangsa Mongol. 

Di tengah kondisi "babak belur" yang demikian, muncul lah ijtihad-ijtihad untuk memperbaiki kondisi umat. Salah satu yg paling menonjol adalah pemikiran dari Syeikh Ibnu Taimiyah. Beliau berpandangan bahwa segala kerusakan ini hanya dapat diatasi apabila Islam kembali pada Al Quran dan As Sunnah.  

Kemudian pandangan tersebut kembali digaungkan pada abad 19 oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan konteks sosio-historis yang kurang lebih sama. Saat itu Dunia Islam sedang mengalami kemunduran hebat. Khilafah Utsmani yang saat itu menjadi sentral dari Dunia Islam melemah, pihak barat mejulukinya sebagai "The Sick Man of Europe". Satu persatu wilayahnya hilang, menjadi bancakan negara-negara barat. 

Di tengah kondisi demikian muncul Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab yg berpandangan bahwa segala kerusakan ini hanya dapat diatasi apabila Islam kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Pertanyaannya benarkah solusinya memang demikan?

Tentu siapapun sepakat bahwa Umat Islam harus kembali pada Al Quran dan As-Sunnah. Tetapi men-generalisir semua masalah akan selesai dengan satu solusi saja agaknya terlalu menyederhanakan keadaan. Apalagi jika yg dimaksud adalah kembali pada Quran dan Sunnah dalam pengertian pemahaman secara tekstual literal, justru akan memunculkan masalah baru. Fundamentalisasi yg demikian bukan hanya akan menggusur cara berpikir rasional, tetapi juga mempersempit makna Al-Quran itu sendiri. Sikap yg demikian menciptakan kejumudan dalam berpikir. Sikap kritis menjadi hilang, kemudian yg muncul adalah sikap sosial yg bersifat apologetik dan ekslusif.

Padahal kita tahu pada masa Khilafah Abbasiyah yg disebut sebagai era golden age-nya Islam, justru yg dikedepankan adalah tradisi berpikir rasional. Dengan Madzhab Mu'tazilah nya, Khilafah Abbasiyah mampu membawa Dunia Islam ke tempat tertinggi dalam peradaban. Tentu kita boleh tidak setuju dalam banyak hal soal paham Mu'tazilah, tetapi dalam hal spirit kemajuan, kelebihan tersebut mestinya tetap dipertahankan.

Yang terjadi kini kualitas Umat Islam terus merosot. Barangkali dalam hal kuantitas jumlah Umat Islam meningkat signifikan. Dalam hal kualitas ibadah trennya juga semakin membaik. Tetapi dalam hal kualitas keumatan masih jauh dari harapan. Ironisnya ekstrimitas atas nama agama justru meningkat. Sektarianisme tumbuh subur sehingga umat mudah sekali diadu domba. 

Negeri-negeri yg dahulu melahirkan para Fuqoha, Muhadditsin, Mufassirin, juga para Pemikir, Intelektual, Filsuf, Saintis, kini menjadi medan peperangan yg tak kunjung henti. Sebagian dari kita menuduh itu ulah konspirasi, pertanyaannya kenapa kita mudah sekali terjebak di dalamnya. Saya kira benar sudah apa yg dikatakan Nabi bahwa Umat Islam seperti buih di lautan, banyak tapi tak berarti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline