Sambil menikmati weekend ini, saya iseng klak klik laptop saya. Soalannya apalagi kalo bukan soal Pilkada. Pilkada DKI tahun ini memang sangat menyedot perhatian bukan saja warga Jakarta tetapi juga seluruh warga Indonesia. Kita saksikan media hari-hari ini terus menerus membahas Pilkada DKI. Media televisi siang dan malam tiada henti, begitu juga portal berita online dan media sosial terus melakukan penggiringan opini. Pemberitaan-pemberitaan tersebut mengalahkan semua isu termasuk berita Pilkada di daerah lain. Padahal selain DKI tercatat ada 100 daerah lainnya yang melaksanakan Pilkada serentak tahun ini.
Kemudian pihak-pihak yang terlibatpun bukan main banyaknya. Dari mulai politisi, pengusaha, konglomerat, akademisi, pemuka agama, hingga artis-artis kenamaan juga turut serta. Bahkan kekuatan-kekuatan politik besar dan semua rezim yang pernah berkuasa turun tangan semua. Tak salah banyak yang menyebut Pilkada DKI tahun ini adalah Pilkada rasa Pilpres. Kemudian pertanyaannya “Lho kok bisa sedemikian heboh begini, ada apa sebenarnya???”. Ada yang bilang posisi DKI-1 adalah setengah jalan menuju RI-1, sebagaimana presiden Jokowi pernah melaluinya. Kalau saya bilang sih bisa iya bisa tidak, yang jelas bahwa posisi DKI-1 merupakan jabatan strategis secara politik nasional.
Tetapi saya ingin melihat soalan ini dari sisi yang berbeda. Saya ingin kembali mencermati perolehan suara Pilkada DKI putaran pertama lalu. Bermodal data perolehan suara yang telah di publish KPUD, saya mencoba menampilkannya secara spasial. Hasilnya bahwa Paslon 2 menang di bagian utara Jakarta meliputi keseluruhan JAKBAR, hampir seluruh JAKUT (kecuali Koja dan Cilincing), dan sebagian JAKPUS (yang berada di bagian utara). Sedangkan Paslon 3 menang di bagian selatan Jakarta meliputi hampir seluruh JAKSEL (kecuali Kebayoran Baru dan Cilandak), hampir seluruh JAKTIM (kecuali Pulogadung, Makasar, Ciracas), dan sebagian JAKPUS (yang berada di bagian selatan). (Lihat peta…)
Lantas pertanyaannya “Karakteristik yang bagaimana yang bisa menjawab pola perolehan suara yang demikian?”.Sebenarnya dengan melihat peta hasil Pilkada diatas kita sudah bisa menduga-duga variabel apa yang mencirikan pola demikian. Tetapi tentu tak valid rasanya jika berargumen tanpa data. Kemudian saya mencoba menampilkan sebaran penduduk berdasarkan agama. Disini saya membagi menjadi dua saja, muslim dan non-muslim agar klasifikasinya menjadi tidak terlalu banyak. Hasilnya linier, bahwa daerah yang cukup banyak non-muslimnya dimenangkan oleh Paslon 2. Sedangkan daerah yang sangat mayoritas muslimnya (> 85%) dimenangkan Paslon 3. Bahkan untuk daerah dimana non-muslim > 35%, mutlak seluruhnya dimenangkan telak oleh Paslon 2. (Lihat peta…)
Fakta ini menjawab bahwa Agama cukup berperan dalam preferensi warga memilih pemimpin. Seorang kawan berkata kepada saya “ya nggak semua lah bro milih berdasarkan agama”. Saya katakan, ya memang tidak semua muslim memilih berdasarkan agama, begitu pula tidak semua non-muslim memilih berdasarkan sentimen agama. Tapi fakta menujukan ada relevansi antara perolehan suara dan agama. Memang ada pengecualian seperti di Kebayoran Baru, Cilandak, Makasar, dan Ciracas dimana muslimnya > 85% tetapi dimenangkan Paslon 2. Dan anomali itu sebenarnya bisa di jawab dengan melihat variabel lain. Namun overall bisa saya katakan hasilnya linier.
Saya sebetulnya ingin menampilkan variabel suku/etnis untuk melihat fakta menarik lainnya. Sayangnya tidak ada data dengan unit analis kecamatan untuk data suku sehingga saya tidak bisa membahasnya. Padahal ini sebenarnya menarik untuk dicermati. Hipotesa saya mengatakan ada relevansi juga antara suku/etnis dengan perolehan suara.
Dengan melihat berbagai fakta ini saya ingin mengatakan bahwa faktor agama, suku, dan ras merupakan salah satu faktor utama yang menjadi preferensi warga Jakarta dalam memilih pemimpin. Tetapi sebagai masyarakat perkotaan, tentu warga Jakarta juga bersikap rasional. Artinya warga Jakarta juga mempertimbangkan aspek pendidikan, track record, visi-misi, hingga program yang dibawa paslon. Tetapi sekali lagi ikatan primordial masih diatas itu semua. Oleh karena itu, tidak mengherankan Paslon 1 tersingkir diputaran 1 kemarin. Utamanya karena faktor rasionalitas pemilih. Dan nanti ketika dihadapkan secara head to headdi putaran kedua, sudah dapat dipastikan aroma ikatan primordial akan kuat sekali.
Seorang kawan lain bilang “loh kok jadi ngeri gini ya bro…”. Loh apanya yang ngeri.Nggakngeri lah. Tidak ada yang salah kok dengan kondisi seperti ini. Boleh dan sah secara hukum. Memilih berdasarkan SARA boleh dan dijamin konstitusi. SARA itu merupakan keniscayaan, tetapi memang tidak perlu diungkapkan berlebihan karena akan merusak kebersamaan. Apalagi sampai memaksakan, menghina, dan melecehkan pihak lain yang berseberangan. Itu yang bisa menyulut konflik sosial beraroma SARA. Tetapi kalau konflik politik kan sifatnya lebih situsional. Selagi kepentingannya sama ya bersekutu, nanti kalau beda ya berseteru.
Lumrah, wajar dan manusiawi saja jika orang punya ikatan emosional dengan basis primordialnya. Setiap penganut agama malah wajib meyakini kebenaran agamanya. Mengajak memilih berdasarkan agama ya boleh selama tidak keluar dari rambu-rambu tadi. Jangan nanti bilang SARA tapi diam-diam malah memainkan isu SARA. Teriak-teriak toleransi tapi nyatanya intoleran juga.
Mari sama-sama menahan diri. Pilkada DKI ini sesungguhnya ujian kita berdemokrasi sekaligus ujian kerukunan berbangsa. Tempatkan tolerasi pada tempatnya, dan jangan saling melampaui batas. Primordialisme dalam demokrasi adalah suatu keniscayaan tetapi jangan sampai merusak tenun kebangsaan. Terakhir, saya sebagai warga Jakarta ingin mengucap kata, “Jangan ada Gedeg diantara kita”
Sekian
Salam