Orang Indonesia yang menjalani pendidikan formal, baik SD (Sekolah Dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), maupun Perguruan Tinggi dipastikan pernah membaca dan mengetahui "Bhinneka Tunggal Ika". Frasa tersebut tertulis pada helai pita atau selendang yang digenggam Garuda Pancasila, merupakan semboyan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Frasa tersebut merupakan ungkapan Bahasa Jawa Kuno yang secara umum bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Kosa kata bhinneka berarti beraneka ragam atau berbeda-beda. Maka, kiranya dapat ditangkap perbedaan "bhinneka tunggal ika" dengan "bhinneka", berbeda-beda tetapi satu jua dengan beraneka ragam.
Selanjutnya, setelah menguraikan pemaknaan atas frasa dan kosa kata tersebut, idealnya, dapat diartikan bahwa para terdidik tidak menggunakan keduanya secara terbolak-balik. Artinya, bila seorang yang sudah pernah menjalani pendidikan di SLTA, apalagi Perguruan Tinggi, tidak akan menyatakan "bhinneka" padahal bermaksud menyatakan "bhinneka tunggal ika". Demikian juga sebaliknya. Jadi, seorang penyandang gelar S1 atau S2 berbicara di forum resmi, tidak akan mempertukarkankedua hal di atas. Jika menyatakan "bhinneka", maka yang dimaksudkannya ialah beraneka ragam atau berbeda-beda. Jika menyatakan "bhinneka tunggal ika", maka yang dimaksudkannya ialah beraneka ragam atau berbeda-beda tetapi satu jua.
Kiranya jelas, apabila seorang yang sudah menyelesaikan pendidikan S3, dalam sebuah pidato berulang-ulang menyerukan agar pendengar "Menjaga ke-bhinneka-an" tanpa pernah menyatakan "Menjaga ke-bhinneka-tunggal-ika-an," cukup beralasan menduga bahwa orang itu memang ingin mengajak pendengarnya untuk menjaga keragaman, menjaga perbedaan, menjaga kebermacam-macaman. Kondisi pidato seperti itu cukup kuat pula menunjukkan bahwa orang yang berpidato itu adalah bagian dari pendengarnya. Mereka adalah kelompok yang sama, sedikitnya, selama berpidato berlangsung.
Idealnya, seorang warga NKRI yang sedikitnya sudah berpendidikan SLTA, bahkan tidak berpendidikan sekalipun namun menggunakan logika sehat, akan mengetahui hendak memilih menjaga ke-bhinneka-an atau ke-bhinneka-tunggal-ika-an. Bahwa yang perlu dijaga, dan dengan demikian menyerukan kepada orang lain untuk sama-sama menjaga ke-bhinneka-tunggal-ika-an. Itu perlu dijaga karena sudah disepakati sejak pendirian negara tercinta, merupakan kristalisasi kondisi riil Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, banyak suku-bangsa, dan kemajemukan-kemajemukan lainnya. Meski masyarakat Indonesia sangat majemuk, seluruh elemen masyarakat bersepakat bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, Indonesia. Bhinnekatunggalika,berbeda-beda tetapi satu jua.
Dengan demikian, betapa naifnya seorang yang ingin disebut sebagai pemimpin daerah (gubernur, misalnya) tetapi menyerukan, menghimbau, dan mengajak pendengar pidato untuk menjaga ke-bhinneka-an. Sekalipun tanpa dirawat atau dijaga, ke-bhinneka-an sudah terbentuk sejak dahulu, tidak perlu dijaga atau dirawat. Kupikir, justru upaya menyatukan kemajemukan itu yang perlu digalang, diupayakan, diusahakan agar segenap elemen masyarakat mempunyai gerakan yang satu, gerakan pembangunan.
Lhoh, ini tulisan uneg-uneg atau apa, siii...?
Salam bhinneka tunggal ika.
Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170819060049-20-235780/hadiri-milad-fpi-anies-berpesan-rawat-kebinekaan/
- https://www.youtube.com/watch?v=nxLYfdiIpJc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H