Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kaburnya Tahanan, Tabu Membiarkan Pikiran Pengubahan Dasar Negara

Diperbarui: 18 Mei 2017   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa pekan yang lalu, ratusan tahanan kabur dari lapas Pekanbaru. Tahanan merusak lapas, kemudian mereka berhamburan keluar. Pihak berkompeten dalam perlapasan, termasuk masyarakat, tersentak. Lalu dilakukan upaya pengembalian tahanan ke dalam lapas. Ada tahanan yang ditangkap kembali, menyerahkan diri, dan diserahkan oleh keluarga. Namun, belum seluruh tahanan yang kabur dapat dikembalikan ke lapas.

Perkembangan peristiwa tersebut mengungkapkan banyak hal. Dari pemberitaan media terungkap bahwa pelarian itu terjadi antara lain karena proses pemasyarakatan di lapas tidak berjalan baik, lapas diisi oleh jumlah tahanan yang melebihi kapasitas normal, fasilitas lapas tidak mendukung proses pemasyarakatan, maraknya pungutan liar di lapas, dan penyebab lainnya.

Apabila dicermati, ada hal mendasar dari sebab-sebab yang telah disebut, yaitu terjadinya pembiaran. Maksudnya, bahwa ketika suatu masalah masih kecil, dibiarkan terjadi tanpa ada teguran, atau koreksi. Keterjadian-keterjadian masalah kecil dianggap bukan masalah, makin hari makin besar, dan akhirnya, meledak dan menyentak banyak pihak.

Menarik untuk mencermati pungutan liar sebagai sebab. Menurut berita hasil investigasi para wartawan, termasuk siaran langsung wawancara kepada mantan narapidana, di lapas terjadi berbagai pungutan liar. Ketika tahanan mendapat kiriman dari keluarga, akan sampai secara tidak utuh, karena sudah dikutil. Padahal, pengirim sudah memberi ‘persembahan’ kepada petugas lapas agar berkenan menyampaikan kiriman. Pihak tahanan dapat menikmati berbagai kemudahan jika menyerahkan imbalan. Sudah pengetahuan umum, narapidana dapat menikmati hiburan malam di berbagai tempat, dengan ‘izin’ dari petugas lapas. ‘Izin’ yang tidak gratis.

Antartahanan sendiri, hidup seperti di rimba belantara. Siapa kuat, dilayani. Yang lemah, melayani mijat, kerokan, sampai hubungan pribadi ‘suami istri’. Secara tidak resmi, tercipta kekastaan yang diterjemahkan dengan ‘upeti’. Si lemah harus membayar ‘upeti’ kepada si kuat.

Memprihatinkan, petugas lapas mengatakan bahwa ‘budaya’ itu sudah lama berlangsung dan terjadi pembiaran.  Artinya, petugas lapas mendapat ‘keuntungan’ dari ‘mengutil’ kiriman, menerima ‘persembahan’, serta pemberian ‘izin’ tahanan keluar malam. Petugas lapas mendapat tambahan penghasilan ‘siluman’ dari pungutan liar yang ‘membudaya’ di lapas.

Sangat memprihatinkan, petugas lapas menyuburkan karakter suap-menyuap. Lapas dirancang untuk melatih hidup bermasyarakat, berubah menjadi institusi pengembang karakter suap-menyuap. Segala sesuatu terkait lapas seolah ditentukan oleh uang. Pemilik uang seakan tidak tersentuh oleh lapas. Meskipun secara formal seorang pemilik uang berstatus sebagai tahanan yang dididik untuk hidup baik di masyarakat, kenyataannya, di lapas dia dapat menikmati berbagai kemudahan bagaikan orang merdeka. Nilai kependidikan lapas tidak bermanfaat karena petugas lapas tidak menjalankan tugas seperti dilantunkan dalam pembacaan sumpah jabatan.

Petugas lapas menyadari hal tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Mestinya dikoreksi, namun tidak dikoreksi karena petugas lapas mendapat keuntungan dari hal tersebut. Lapas berperan menyuburkan karakter suap-menyuap. Sampai pada titik kulminasi, digabung dengan variabel lainnya, memicu tahanan berusaha melarikan diri.

Patut diduga, bahwa hal ‘pembiaran’ seperti yang di lapas, terjadi juga dalam aspek bernegara lainnya, misalnya, dalam hal keormasan. Sebelum UU No.17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diundangkan, ada ormas berkiprah seakan-akan tidak bisa salah. Ormas itu bertindak memerankan tindakan kepolisian seperti ‘menertibkan’ pedagang makanan pada bulan Ramadhan, ‘merazia’ toko penjual minuman, membubarkan kumpulan yang tidak sepaham dengan mereka, dan lain-lain.

Setelah Pemerintah mengundangkan UU No.17/2013, ormas itu menghentikan sikap memerankan tugas kepolisian. Mereka menyesuaikan sikap, sehingga terhindar dari pembubaran. Namun, muncul ormas lain yang menyatakan sikap ingin mengganti sistem kenegaraan dari Negara Pancasila menjadi Negara Khilafah.

Dari berbagai literatur diketahui bahwa Negara Khilafah menginginkan keseragaman berbagai aspek kehidupan warganya. Sementara, sebagai negara kesatuan, mustahil menyeragamkan aspek kehidupan warga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Negeri ini terlalu kaya keragaman, mustahil diseragamkan. Bercermin dari keragaman aspek kehidupan penduduk dunia, upaya menyeragamkan aspek kehidupan warga NKRI akan sia-sia. Sejak didirikan, NKRI bersemboyan bhinneka tunggal ika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline