Lihat ke Halaman Asli

Hilangnya Pedoman Penghayatan Pengamalan Sila Pertama

Diperbarui: 2 Mei 2017   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pancasila adalah dasar NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).  Sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.Sejak tahun 1978, di NKRI diadakan dan dilaksanakan program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai bahan pelajaran pendidikan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi.  Bahkan, para karyawan dan pegawai diwajibkan mengikuti penataran P4. Dengan mengikuti penataran P4, seseorang dipandang telah mengetahui pedoman pengamalan Pancasila, dan diharapkan akan mengamalkan Pancasila dalam hidup sehari-hari.

Penataran P4 membentuk nilai-nilai kesadaran jiwa warga NKRI untuk hidup berlandaskan Pancasila.  Manusia Indonesia diinginkan hidup berserah pada Tuhan yang Esa, memandang manusia lain baik senegara atau dari manca negara secara adil dan beradab, menggalang persatuan sebangsa senegara, mengambil keputusan kebijakan berbangsa bernegara secara musyawarah mufakat, dan dengan demikian akan menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Acuan pelaksanaan P4 ialah Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa yang menjabarkan kelima sila Pancasila dalam 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis.  Selanjutnya, 36 butir pengamalan Pancasila tersebut dikembangkan oleh BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)menjadi 45 butir.

Butir-butir penghayatan pengamalan Pancasila untuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa,ialah:

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Mengetahui dan mengendapkan dalam sanubari akan 7 butir pedoman pengamalan Ketuhanan Yang Maha Esa, mendorong insan NKRI sangat menyadari ke-bhinneka-an warga Indonesia.  Rasa toleransi akan terbentuk dalam alam bawah sadar dan teraplikasi dalam hidup bermasyarakat majemuk sehari-hari.  Hidup bergotong-royong mudah digalang.  Semua insan Indonesia berkarya untuk bangsa dan negara.

Sangat disayangkan, ketika memasuki era reformasi, program Penataran P4 hilang atau dihilangkan.  Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003.  Artinya, menurut Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998, Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsadinyatakan dicabut. Lalu, menurut Ketetapan MPR No.I/MPR/2003, Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsatelah selesai dilaksanakan, dan atasnya, tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.  Sejak saat itu, kesadaran insan Indonesia tidak lagi distimulir dengan nilai-nilai ke-bhinneka-an.

Tiap individu mencari kelompok yang terbatas oleh faktor-faktor primordial.  Seseorang menjadi seperti ‘menggunakan kaca mata kuda’. Hanya melihat sesuatu hal dari sudut pandang terbatas, yaitu sebatas sudut pandang kelompok komunitasnya. Terisolir dari sudut pandang ke-bhinneka-an.  Ketika berbaur di masyarakat majemuk, ‘penggunaan kaca mata kuda’ menjadi gamang toleransi, memicu sikap inklusif.  Bukan lagi Indonesia, melainkan bagian dari Indonesia, namun merasa diri sebagai Indonesia.

Walaupun pasal 1 Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara,karena pasal 2 mencabut pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila, dapat dikatakan, pasal 1 tersebut kehilangan makna.  Sebab, dikatakannya Pancasila harus dilaksanakan, sementara pedoman pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku, sama saja dengan menyatakan Pancasila tidak perlu diberlakukan.  Maka, sejak pencabutan Ketetapan MPR tentang Ekaprasetia Pancakarsa, mustahil warga Indonesia mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esadari sudut ke-bhinneka-an, sebab sudah terlanjur ‘menggunakan kaca mata kuda’.

Meskipun Pancasila diakui dan diterima sebagai dasar NKRI, berhubung karena pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila sudah didak berlaku, maka setiap warga negara menjadi gamang melaksanakan pengamalan nilai-nilai Pancasila.  Pedoman penghayatan dan pengamalan semua sila Pancasila termasuk sila Ketuhanan Ketuhanan Yang Maha Esa dicabut dan tidak berlaku lagi, maka besar kemungkinan bahwa tiap agama mengajarkan sesuai sudut pandangnya saja.  Bukan lagi berdasarkan fakta ke-bhinneka-an, bukan lagi berdasarkan Pancasila. 

Ketuhanan Yang Maha Esasangat dekat dengan kepercayaan atau agama.  Selain mengakui kepercayaan lokal yang masih hidup, beberapa agama diakui oleh negara, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.  Dengan dicabutnya Ekaprasetia Pancakarsa, insan Indonesia kehilangan pedoman menghayati dan mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam hanya mengetahui sila Ketuhanan Yang Maha Esadari sudut pandang agamanya. Demikian juga pandangan-pandangan agama lain.

Ketika masing-masing agama mengajarkan agama sesuai sudut pandangnya saja, tanpa menggubris bahwa di Indonesia diakui beberapa agama, maka agama berubah dari sebagai perekat kebangsaan Indonesia, menjadi pengkotak-kotakan.  Pandangan yang berkebalikan dengan ajaran Pancasila, insan Indonesia menjadi hanya bhinneka saja, tanpa ada unsur tunggal ika.  Pandangan yang yang menyeleweng dari kesepakatan nasional, bhinneka tunggal ika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline