Masih ingat sekali kata-kata kakekku ketika aku masih duduk di sekolah dasar, "Adikmu aja mbok cengek." Kalau diartikan secara bebas dalam bahasa Indonesia, "Adikmu jangan kau bikin nangis." Di lain waktu, kadang Kakek menasehatiku untuk kasus yang sama, "Adikmu aja mbok jarak." Artinya dalam bahasa Indonesia, yakni "jangan kau godain atau ledekin".
Aku suka sekali menggoda adikku. Adikku laki-laki suka menangis. Kala itu ia berumur enam tahunan dan aku sembilan tahunan. Bila kemauannya tidak dituruti, pasti nangis. Olok-olok untuk anak yang suka nangis dalam bahasa daerahku adalah "gembeng" atau kalau lebih parah "gembeng kreweng".
Aku suka sekali mengatai dia, "anak gembeng". Tentu saja adikku menolak dibilang "gembeng". Saling tuduh dan tolak perihal "gembeng" akhirnya terjadi. Karena jengkel dituduh terus menerus, akhirnya adikku menangis.
Kadang aku menuduhnya tanpa alasan jelas dan asal-asalan. Suka ngompol, suka nyembunyikan makanan, suka bohong dan seterusnya. Adikku akan menolak keras tuduhan itu. Dan aku pun makin keras menuduhnya. Setelah adu debat kusir yang panjang, akhirnya dia menangis. Rasanya puas kalau dia akhirnya nangis. Melihat reaksi adikku rasanya lega sekali. Sepertinya keadaan jadi rame. Aku merasa di atas angin.
Tapi setelah dinasehati oleh Kakek, aku sering mikir dan akhirnya berhenti meledek adikku. Kakek bilang, bila adik sering diledek nanti jadi anak nakal atau anak bandel. Dan mempertanyakan tabiatku menggoda adik itu manfaatnya apa selain hanya bikin berisik?
Media Sosial
Pada saat media sosial digunakan banyak orang, aku tidak menyangka bahwa sikap kekanak-kanakanku seperti itu ternyata bisa terbawa ke dunia dewasa oleh banyak orang. Orang yang kerjaannya suka meledek, menuduh tanpa fakta atau alasan jelas dan lain-lain dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan emosi, merasa berada di atas angin, merasa menang atau berharga.
Digroup-group WA yang anggotanya orang berpendidikan, sikap kekanak-kanakan itu ternyata juga eksis. Meski dipoles lebih halus biar seperti orang berpendidikan, tapi tetap saja intinya meledek, menuduh tanpa alasan jelas untuk memperoleh reaksi emosional dari anggota lainnya.
Dan celakanya, ledekan itu mendapat komentar berjibun pro dan kontra. Saling olok dan caci. Persis seperti sikap adikku saat aku ledek. Adu argumen menolak keras, debat kusir dan akhirnya menangis. Kini yang menjadi para adik atau para kakak itu adalah semua member group. Mereka saling lempar bahan ledekan. Dan sepertinya mereka menikmati itu. Group jadi rame.
Beberapa hari lalu banyak posting di media sosial yang menyoroti ulang tahun PDIP. Dari seluruh rangkaian acara ulang tahun itu, beberapa isu jadi bahan ledekan. Meski banyak isu lain yang lebih berguna, tapi seolah lewat saja karena bukan bahan ledekan yang empuk. Juga tentang pengakuan kesalahan pemerintah atas pelanggaran berat hak azazi manusia tidak luput dari ledekan dan bully-an.
Bahan ledekan itu tidak saja ramai di media non-formal tapi juga di lembaga media formal. Di media formal, bahan ledekan itu tidak sekedar dicomot tapi juga dibesar-besarkan. Seolah berusaha menggiring opini banyak orang agar yang diledek itu dapat masalah, dipersoalkan, masuk penjara, dapat kesulitan atau hukuman dan agenda tersembunyi lainnya. Atau secara finansial, ternyata ledekan itu memberi keuntungan gampang dan berlimpah dari monetisasi?