Lihat ke Halaman Asli

Herry B Sancoko

Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Bajigur, Diskusi Pilgub Makin Memanas dan Personal

Diperbarui: 19 Maret 2016   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang facebooker nulis di lapak sebuah group perdebatan politik tentang pilgub DKI, meminta agar debat dihentikan karena sudah mulai menjurus ke masalah SARA. Facebooker tersebut prihatin atas arah perdebatan, tidak saja menyinggung SARA, tapi juga sudah saling menyerang secara personal.  

Tapi nampaknya debat itu tak juga berhenti begitu saja. Tanggapan komentar dari facebooker yang lain nampaknya menghiraukan postingan facebooker tersebut. Tidak semuanya bermuatan SARA memang. Ada juga yang menanggapi dengan kepala dingin dan obyektif.

Di lapak facebook penulis, debat pilgub memang kadang ada juga yang menyinggung masalah SARA. Meloper link-link yang sifatnya juga menjurus ke hal-hal berbau SARA. Bagi penulis postingan yang berbau SARA memang amat bikin risih. Ada teman yang postingan dan loperan linknya selalu berbau hoax dan SARA. Karena tidak cukup punya nilai positif, postingan itu saya sembunyikan dari timeline. Tapi beberapa lama kemudian postingannya muncul dan memuat hal sama. Akhirnya dengan berat hati, saya geser statusnya dari list "friend" ke "acquaintance".

Sikap saya di facebook itu mungkin banyak dilakukan orang lain. Bahkan ada yang lebih keras. Begitu ada nada SARA-nya atau ketidak-cocokan logika terhadap satu isu langsung ia putus pertemanannya. Beres. Postingan di facebook yang saling melecehkan tidak saja terdapat di lapak pribadi, tapi juga di group-group akademik yang seharusnya mencerminkan sikap intelektualisme. Sudah tak mengherankan jika di group akademik itu terdapat kata-kata: "Congor", "Asu", "Gedibal Onta", "Kafir", "Cebong", dan kata-kata tak senonoh lain-lainnya dengan konteks yang multi tafsir.

Sejak pilpres 2014 lalu, nampaknya masyarakat kita terpilah menjadi dua. Satu pendukung Jokowi dan satunya pendukung Prabowo. Entah kenapa kedua pendukung itu sepertinya sulit akur. Logika masing-masing pendukung seolah seperti air di daun talas, tidak pernah bisa menyatu atau ketemu. Masing-masing merasa benar. Dan keadaan ini nampak tak akan berakhir dengan segera meski Jokowi sudah setahun lebih terpilih menjadi presiden. Dua kubu pendukung masih berhadapan dan saling mencela.

Kini, kedua kubu pendukung itu mendapat angin baru untuk kembali beradu argumen lewat pilgub DKI lewat tokoh Ahok. Lahirnya "Teman Ahok" dan "Lawan Ahok" adalah luberan kedongkolan dari pilpres tahun 2014 kemarin. Bahkan isu-isu SARA itu kini makin terdengar keras, kasar dan vulgar.

Karena masing-masing pihak pendukung punya logika yang berseberangan bahkan berkebalikan, diskusi politik antara pendukung Ahok dan lawan Ahok tidak lagi sepenuhnya memakai logika yang obyektif dan realistik tapi sudah menjurus ke personal dan emosional. Fenomena ini bisa dilihat pada hampir setiap diskusi menyangkut Ahok sedikit banyak membicarakan hal-hal personal dan cenderung menyerang pribadi Ahok. Tidak jarang masing-masing pelaku debat juga saling menyerang hal-hal yang sifatnya personal. Bahkan hampir adu fisik. Diskusi yang menyerang personal bukan lagi diskusi tapi debat kusir. Karena pelaku tak mengerti aturan-aturan diskusi yang sehat dan benar untuk menemukan titik temu.  Mungkin dianggap titik temu tidak akan didapat, maka gampangnya menyerang pribadinya.

Limbahan kampanye pilpres 2014 seolah menemukan jalan pelampiasan baru dan terbina dengan mulusnya. Memanasnya debat politik yang mulai personal itu tidak saja bisa kita lihat di acara-acara debat di TV tapi juga sudah merambah ke media sosial dan mungkin pada level personal kehidupan sehari-hari. Debat personal itu makin panas jika ditambahi dengan isu agama.

Berita-berita hoax saling caci dan menyerang personal banyak bertebaran di media sosial. Gambar-gambar ilustrasi berisi fitnah dan saling caci makin biasa. Lebih jauh lagi, beberapa kalangan beranggapan bahwa berita hoax tak masalah demi ujian keimanan. Menfitnah dan menebarkan kebencian tak masalah demi keimanan. Menyinggung SARA tak masalah demi ujian keimanan. Isi berita dianggap hoax hanya oleh orang-orang yang imannya lemah dan goyah. Mereka beranggapan bahwa berita hoax tidak harus ditangkap sebagai hoax jika didalamnya terkandung nilai-nilai yang menguji keimanan seseorang. Menuduh orang kafir tak masalah agar orang lain tak ikut kafir, agar orang tak goyah keimanannya. Masalah keimanan jadi isu politik.

Ahok yang sering memakai kata-kata kasar mendapat kritikan paling pedas dari banyak kalangan. Bahkan di hampir setiap debat politik di TV selalu menyinggung gaya kepemimpinan Ahok yang sering menggunakan kata-kata kasar itu. Karena seringnya kritik personal ditujukan pada Ahok pada setiap diskusi politik, maka keterlibatan orang dalam hal saling menyerang pribadi orang makin meluas, merembet kemana-mana dan meruncing.

Apalagi Ahok sebagai figur publik yang kini begitu populer secara nasional, tidak bisa dipungkiri bahwa sikap kasarnya menular pada banyak orang. Banyak sikap pro dan kontra terhadap gaya kepemimpinan Ahok itu. Bahkan banyak yang memuji karena sikap kasar Ahok dengan alasan sikap seperti itu diperlukan untuk memimpin Jakarta. Orang makin terbiasa dengan serangan personal. Seolah wajar dan tak ditanggapi serius karena alasan pembenaran-pembenaran sepintas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline