Tanggapan terhadap pemerintahan dan sikap Ahok sejak dari dulu memang sudah mengundang perdebatan. Dalam kasus yang terakhir yakni kasus pembebasan Kalijodo dan keterpihakannya dengan Teman Ahok untuk mencalonkan diri dalam pemilihan wagub secara independen telah mengundang komentar deras dari berbagai pihak dan terutama dari kalangan elit politik.
Pilkada yang bakal dilakukan tahun depan itu kini sudah gegap gempita dibicarakan di berbagai media dan makin ramai karena sikap Ahok dalam memilih jalur independen ketimbang lewat usungan parpol. Gaya kepemimpinan Ahok yang ceplas ceplos yang telah mengundang banyak kritik itu kini makin tersulut dengan sikap politik independen Ahok dalam pilgub. Ahok telah menambah lawan politiknya dari pemain kekuasaan itu sendiri yakni partai politik.
Gesekan Ahok terhadap partai politik membuat lawan politik Ahok makin semangat untuk mengeliminir kekuasaan Ahok dan atur stategi mencoba memilih kandidat yang diprediksi bisa mengalahkan Ahok. Seorang kandidat pilihan yang bisa mengatasi kekurangan Ahok dalam memegang kekuasaannya.
Sampai saat ini, para calon pesaing Ahok dalam memperebutkan kursi Gubernur DKI belum menemukan rumus tepat untuk mengalahkan Ahok. Mereka kesulitan menemukan kelemahan-kelemahan Ahok selain dalam isu sedikit banyak berkaitan dengan nilai moralitas umum atau moralitas agama. Terobosan-terobosan dan pembenahan birokrasi Ahok sangat sulit untuk dibilang tak berhasil. Reformasi birokrasi Ahok hampir secara sebagian atau menyeluruh telah berhasil membongkar budaya birokrasi lama yang lamban dan korup. Berbasis teknologi dan pengawasan melekat. Efisien dan efektif dalam fungsi pengawasan dan transparansi.
Nilai moralitas menjadi senjata utama untuk melengserkan Ahok karena tak ada pilihan lainnya. Pesaing Ahok tak henti-hentinya mengangkat isu moralitas untuk menyerang Ahok. Segala tindakan positif Ahok seolah tak menjadikan mereka mereda dalam menilai dari sisi moralitas yang menurut mereka negatif pada Ahok. Kata-kata kasar yang keluar dari mulut Ahok tak henti-hentinya dikutip dan diangkat di hampir setiap perdebatan tentang Ahok. Kata "bajingan", "maling", "begal", "perampok" dan seterusnya seolah begitu melekat di kepala mereka.
Sementara pendukung Ahok tak juga berkurang bahkan malah ada kecenderungan untuk terus bertambah. Popularitas Ahok makin meluas. Sikap masyarakat ternyata lebih cerdas dalam menilai siapa Ahok daripada para pesaing politik Ahok. Masyarakat lebih bisa menyesuaikan keadaan dibanding para pesaing Ahok yang lagi duduk di kekuasaan. Sepertinya lembaga politik kita lebih lamban dalam menyesuaikan diri dengan alam reformasi dibanding masyarakat yang diwakilinya. Lembaga politik masih menganggap bahwa isu moralitas adalah isu yang gampang ditelan masyarakat dan bakal menarik simpati.
Pesaing Ahok hanya melihat sisi moralitaslah yang bisa menjatuhkan Ahok. Kalau perlu Ahok akan didiskriminalisasi secara moral. Itulah senjata mereka yang paling nampak saat ini. Belum ada tawaran program, misi atau visi kerja yang nyata sebagai alternatif guna menyaingi Ahok. Ahok sudah melangkah lebih maju dari pesaingnya dalam hal itu sehingga mereka menemukan kesulitan mencari alternatifnya. Bahkan mungkin saja para pesaing Ahok tidak paham dengan reformasi yang telah dilakukan Ahok. Mereka masih berkutat dalam semangat membela teman dan kedudukan empuknya tanpa mau janji akan bekerja keras. Ahok berada di garis terdepan dalam hal perombakan birokrasi, budaya kerja dan keterbukaan sistem. Ahok berada di garda depan dalam semangat reformasi dan revolusi mental yang kita semua selama ini dengung-dengungkan.
Kalau dipikir, kata-kata kasar yang diucapkan Ahok tidak menyerang secara pribadi tapi lebih ke lembaga atau secara umum dan bukan orang per orang. Aneh jika seorang merasa tersinggung dan telinganya jadi merah karena ucapan Ahok. Saya bukan orang yang dibajingi oleh Ahok. Atau diumpati sebagai maling dan seterusnya, sehingga saya tidak merasa tersinggung sama sekali. Tidak ada alasan orang untuk tersinggung jika memang dia bukan maling dan bajingan yang dimaksud Ahok. Atau orang tersinggung mungkin karena temannya dikatain maling atau bajingan oleh Ahok. Esprit de Corps mungkin telah membuatnya tersinggung. Jadi dalam benaknya, lembaganya memang maling dan bajingan.
Kenapa maling dikatain maling harus dibela? Kalau maling ya maling, masak mau dibilang begal? Kalau memang orangnya punya sikap bajingan kenapa nggak boleh dibilang bajingan? Kenapa dibela hanya karena dianggap tidak sopan untuk mengucapkannya? Karena ia seorang pemimpin tak pantas mengatakan maling dan bajingan? Mentalitas birokrasi kita mungkin sudah sedemikian parah di mata Ahok. Bebal dan tebal telinga sehingga tidak akan mempan jika dikritik tanpa dibumbui kata-kata kasar. Para birokrat dan elit politik selama ini telah bertindak semau gue yang penting dapat duit. Ongkang-ongkang dapat duit, tanda tangan dapat mobil, mengobrol sana sini dapat amplop, tampil sana sini dapat angpao, kasih stempel proyek dapat isteri muda dan seterusnya.
Dalam realitas sehari-hari, kita terbisa melihat dan mendengar tindak kekerasan. Hidup di Jakarta tidak mudah. Hidup di antara preman tidak gampang. Apalagi hidup di daerah slum. Masyarakat umum lebih bisa melihat kehidupan sehari-hari secara realistik daripada kaum elite politik kita. Para elite politik kita sudah terlalu lama terasing dari masyarakat kebanyakan. Mereka menikmati kemewahan atas nama negara terlalu lama dan bahkan hampir telah membudaya. Maka tidak heran jika mereka "membela" rakyat karena isu-isu yang sebenarnya kurang memihak pada semangat reformasi. Isu-isu yang sebenarnya bisa ditinjau secara proporsional dan diarahkan pada reformasi mental. Isu-isu yang seharusnya dimanfaatkan untuk pendidikan politik dan kesadaran reformasi.
Isu deparpolisasi telah menyiratkan bahwa elit politik kita kurang akomodatif terhadap semangat reformasi yang hendak kita kejar. Partai politik sepertinya lebih banyak bermotivasi cari kekuasaan. Ideologi politik pada realitanya kurang bisa melihat aspirasi masyarakat yang makin berkembang dan lebih bisa menerima perubahan. Sebagian besar partai politik dikuasai oleh orang yang itu-itu saja. Orang-orang yang cikal bakalnya dari Golkar. PDI sebagai oposisi paling gigih terhadap Golkar, selama bertahun-tahun diketuai oleh orang sama. Tak terjadinya regenerasi selama tahunan itu bisa dianggap sebuah keadaan yang kontra reformasi. Semangat reformasi adalah semangat untuk memberi kesempatan pada semua orang berdasar prestasi nyata dan terukur bukan pada trah, kroni atau favoritisme. Reformasi lembaga modern seharusnya mengutamakan order of merit dan bukan primordialisme atau paternalisme. Kontradiktif antara apa yang diucapkan dan apa yang diterapkan.