Lihat ke Halaman Asli

Herry B Sancoko

Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Opini dan Fakta

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1370403258594972832

Membedakan antara opini dan fakta. Sumber foto: http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/86818240.png Membedakan antara opini dan fakta ternyata menjadi kelemahan berpikir banyak orang.  Hal yang nampak sederhana tersebut nyatanya tidak semua orang bisa memahaminya dengan baik.  Padahal bedanya sangat mendasar sekali antara opini dan fakta. Banyak orang terjebak pada opininya atau opini orang lain dan memperlakukannya seolah sebagai fakta. Dari sinilah mulai terjadi kesimpang-siuran informasi. Sehingga kebenaran sebuah informasi susah ditelusuri. Apakah informasi tersebut faktual dan berdasar kenyataan yang benar-benar ada dan terjadi atau rekayasa hasil pikiran orang yang tidak ada dasar faktanya. Bila sebuah berita mengandung hal-hal yang tidak logis, seseorang tidak serta merta mempertanyakan kebenaran beritanya tapi langsung percaya dan memperlakukan sebagai fakta.  Apalagi jika informasi tersebut berhubungan dengan keyakinannya, maka lebih kecil lagi orang tersebut akan menggali lebih dalam asal-usul beritanya. Lebih sering langsung saja dipercaya sebagai fakta. Barangkali contoh yang masih segar adalah adanya foto awan berbentuk orang berdoa saat meninggalnya seorang tokoh dakwah agama. Awan berbentuk tidak biasanya tersebut dianggap sebuah fakta. Padahal menurut beberapa sumber, bentuk awan tersebut hasil rekayasa teknik olah aplikasi fotografi. Banyak orang yang berusaha memutar-balikkan kenyataan berdasar rekayasa fakta. Rekayasa fakta tersebut demikian meyakinkan sehingga mirip sebuah fakta. Ini yang lebih sulit lagi bagi orang awam untuk melakukan konfirmasi kebenarannya. Jika rekayasa fakta tersebut diterima oleh banyak orang, maka kecenderungan untuk distorsi informasi makin besar. Sebagai mahluk sosial, apa yang diterima secara sosial sering oleh individu dianggap sebagai kebenaran. Sehinggga menepis keraguan diri dan mempertanyakan kebenaran sesungguhnya. Akhirnya individu tersebut menerima rekayasa fakta sebagai fakta sebenarnya. Konformasi sosial dilakukan untuk menghindari sanksi sosial. Ada juga pihak-pihak yang menghubungkan dunia supernatural atau spiritual dengan hal-hal yang nyata untuk mendistorsi kebenaran. Misalnya, waktu pejabat tertentu datang, tiba-tiba datang hujan deras. Hujan deras tersebut dihubungkan dengan dunia supernatural dan dikaitkan dengan kedatangan pejabat. Pejabat tersebut dianggap membawa bencana atau bisa juga mendatangkan berkah. Tergantung situasinya.  Bila lama tidak hujan, maka dianggap berkah. Jika tambah banjir tentu saja dianggap bencana. Dunia mistis menjelma menjadi fakta yang dipaksakan karena dihubungkan oleh sebuah kebenaran (fakta).  Maka yang terjadi berikutnya adalah bahwa pejabat tersebut adalah simbol bencana atau simbol anugerah. Tidak ada hubungannya tapi diterima begitu saja oleh orang awam. Kasus Pertama Ketika petang hari melewati sebuah jalan raya, ada tiga mobil polisi dan ambulance berderet di pinggir kanan dan kiri jalan. Kendaraan berjalan pelan-pelan. Sepertinya barusan ada kecelakaan. Si sopir berkonsentrasi melihat jalan di depan. Sesekali melirik kiri kanan ingin tahu apa yang terjadi. Namun ia tidak bisa melihat dengan jelas di keremangan petang itu. Apalagi harus melihat kendaraan di depannya yang merembet pelan-pelan sesuai arahan polisi di jalan. Setelah melewati kerumunan polisi, si sopir tanya pada penumpang. "Ada apa tho tadi?" "Kecelakaan," jawab seorang penumpang. "Kecelakaan apa?" "Lha, itu banyak polisi," jawab penumpang lagi. "Lho, ada polisi kan belum tentu ada kecelakaan? Ada mobil yang ringsek?" "Lha, tadi banyak mobil polisi," jawab penumpang. "Banyak mobil polisi kan belum tentu karena kecelakaan. Memang kemungkinan besar kalau ada mobil polisi di jalan biasanya karena kecelakaan. Tapi kan tidak harus gitu. Mungkin ada pembunuhan di jalan. Atau kasus lainnya," jawab si pengemudi. Sepertinya si sopir mendapati jawaban dari penumpang itu malah jengkel karena jawaban yang diberikan tidak memberi penjelasan sedikitpun.  Tidak menjawab apa yang ingin ia ketahui dan pertanyakan. Kasus Kedua Suatu sore dua orang berdebat tentang jalur kereta yang akan dipakai untuk menuju sebuah tempat. Tempat tujuan itu memang bisa dilewati banyak jalur karena terletak setelah persimpangan jalur kereta. "Paling enak dan cepat ya naik jalur X terus pindah jalur Y," kata orang pertama. "Kalau jalur Y, keretanya terakhir jam berapa?" sambut orang kedua. "Jam enam sore," jawab orang pertama. "Kok tahu? Apa pernah lewat sana?" jawab orang kedua. "Belum. Itu kata teman," jawabnya. "Kata teman, kata orang, kata orang lewat, kata orang banyak dan lain-lain itu bisa tidak pasti. Masih belum tentu benar," jawab orang kedua. Kasus Ketiga Mobil buatan Eropa biasanya AC mobil juga berfungsi sebagai pemanas. Ada pengatur suhu yang bisa dirubah sesuai keperluan. Pada suatu siang saat mengendarai mobil, si penumpang menyalakan AC karena kepanasan. Tapi beberapa lama kemudian, suhu di dalam mobil tidak menjadi sejuk tapi malah tambah panas. Setelah si sopir melihat setting di AC ternyata panel yang ada tidak dirubah dari fungsi AC ke pemanas.  Tentu saja suhu ruangan mobil tambah tinggi. "Kok nggak kamu rubah dulu settingnya ke AC?" kata si pengemudi. "Lha, biasanya tinggal menghidupkan terus jadi dingin," kata penumpang. "Ya, nggak bisa begitu. Harus dilihat dulu. Kan kemarin malam karena dingin settingnya buat pemanas. Kalau siang gini ya ganti settingnya dong jadi pendingin," jelas si sopir. "Biasanya tinggal menghidupkan," jawab si penumpang seperti nggak terima kalau disalahkan. "Kok biasanya-biasanya saja bisanya. Saya ini dulunya biasanya ya nggantheng. Sekarang saja sudah tua," jawab si pengemudi dengan ketus. Tiga kasus tersebut di atas hanya sebagian contoh kecil saja dalam hal sulitnya orang membedakan antara fakta dan opini. Banyak kasus demikian peliknya sehingga susah dibedakan mana yang benar-benar fakta dan hanya opini.  Banyak kasus-kasus tidak logis diterima begitu saja oleh banyak orang tanpa menelusuri kebenaran sumber beritanya. Cara berpikir logis ternyata belum menjadi kebiasaan banyak orang.*** (HBS) Untuk latihan membedakan fakta dan opini, silahkan coba quiz di sini: http://cuip.uchicago.edu/www4teach/97/jlyman/default/quiz/factopquiz.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline