Lihat ke Halaman Asli

Herry B Sancoko

Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Jokowi Ternyata Diskriminatif dan Demokrasi Pilih Kasih

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: http://www.itoday.co.id/wp-content/uploads/2012/10/Jokowi_di_Pasar.jpg

[caption id="" align="alignnone" width="606" caption="Sumber foto: http://www.itoday.co.id/wp-content/uploads/2012/10/Jokowi_di_Pasar.jpg"][/caption]

LELAKI mana yang tidak senang disambut dengan ramah oleh seorang gadis dan berwajah cantik lagi? Memang secara umum, gadis cantik lebih mendapat keuntungan karena penampilannya. Orang lebih punya sikap positif terhadap penampilan yang menawan atau apalagi cantik dan seksi. Seolah yang berwajah cantik itu yang pintar, tidak bersalah dan mendapat pandangan positif.

Sikap apriori tersebut nyatanya dipertahankan di banyak tempat tidak saja di Indonesia, tapi juga di negara maju. Bedanya di negara maju dilakukan secara terselubung karena hukum-hukum positif yang tegas. Jika tak hati-hati bisa terjerembab dalam jaring-jaring hukum dengan konsekwensi cukup berat. Sementara di Indonesia sikap diskriminatif tersebut dilakukan secara terang-terangan, terbuka bahkan lewat media massa.

kita semua tahu bahwa cewek cantik cenderung lebih dipermudah dalam perjalanan kariernya. Lebih dipercaya menduduki posisi empuk. Namun, jika dihubungkan dengan alam profesionalisme, sebenarnya bentuk dan rupa wajah tidak ada hubungannya.

Di Australia pernyataan yang menyinggung bentuk tubuh, rupa, dan ciri-ciri fisik lain dan dihubungkan dengan pekerjaan dianggap melawan hukum. Mendiskriminasi orang lain. Tidak melihat manusia sebagaimana manusia seutuhnya berdasar kemampuannya. Melihat manusia hanya berdasar selera pribadi yang dangkal.

Di Indonesia sering sekali kita baca iklan lowongan kerja dengan menyebutkan persyaratannya secara jelas melakukan tindak diskriminasi. Misalnya umur, jenis kelamin, penampilan, status perkawinan dan lain-lainnya. Jika ditengok dari segi profesionalisme, apa hubungan persyaratan tersebut dengan kemampuan orang? Tidak ada.

Sangat mengherankan, pada saat kita mendengung-dengungkan alam keterbukaan, reformasi dan demokrasi sementara hal-hal yang jelas-jelas menyatakan sikap diskriminatif tersebut dengan leluasa ada di depan mata tanpa ada pihak yang memprotesnya.

Bahkan tidak tanggung-tanggung sikap diskriminatif tersebut secara terbuka dilakukan oleh orang yang kini punya ranking tertinggi elektabilitasnya sebagai calon presiden RI, Jokowi.

Gubernur DKI Jakarta tersebut meminta petugas di garda depan kelurahan dipasang pegawai berwajah cantik dan ramah untuk menyapa tamu (sumber). Apa hubungannya wajah cantik dengan sikap ramah? Memangnya yang punya wajah tidak begitu cantik tidak bisa ramah? Mungkin definisi "ramah" yang diutarakan Jokowi beda dengan definisi ramah yang ada dalam kepala penulis.

Sungguh ironis juga, Jokowi yang ditiupkan membawa perubahan dalam alam reformasi birokrasi dan demokrasi justru mengisyaratkan sikap diskriminatif seperti itu. Jokowi memang tak bisa disalahkan, karena memang demikianlah pandangan umum masyarakat kita. Tapi kalau sikap diskriminatif tersebut tidak segera disadari, demokrasi akan bisa menjadi sekedar buah bibir yang enak diucapkan. Tidak mungkin ada demokrasi jika sikap diskriminatif tetap dipertahankan, sekecil apapun ukuran dan bentuknya. Karena melawan dasar dan nyawa dari demokrasi itu sendiri.

Nampaknya sikap Jokowi tersebut secara latah diikuti oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil dalam merekrut Satpol PP di wilayah kerjanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline