Lihat ke Halaman Asli

Herry B Sancoko

Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Bukan Masalah Menang atau Kalah, tapi Konsisten Menaati Peraturan Lebih Penting

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Motivasi utama dalam konstelasi politik di Indonesia pasca pilpres dan masa transisi kepresidenan saat ini adalah memperoleh atau memetakan kekuasaan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Motivasi berikutnya adalah berusaha melanggengkannya. Motivasi lainnya adalah mengeruk kekayaan, melindungi kepentingan, berlindung dari kejaran hukum dan lain-lain. Motivasi selalu berkembang dan bergerak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Oleh karena itulah, aturan-aturan dipersiapkan selagi berkuasa untuk menjaga kemungkinan tergoyangnya kekuasaannya. Untuk lebih terjaminnya urusan kepentingan.

Motivasi awal mula dan utamanya selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ini modal dasar pokok untuk meraih motivasi-motivasi berikutnya. Inilah lantai pijakan bagi perjuangan berikutnya. Maka tidak heran jika perebutan kekuasaan mendapat porsi terbesar dari masing-masing pendukung pergerakan. Masing-masing akan mencari celah dan kesempatan mana-mana yang menjanjikan memberi peluang kekuasaan paling besar. Kekuasaan jenis mana yang bisa dikejar bersama tanpa resiko dikucilkan jika kalah atau cuma jadi pendukung terpinggirkan.

Kekuasaan untuk melakukan perubahan adalah pilihan tidak menarik. Apalagi perubahan demi kebaikan rakyat. Perubahan membawa ketidak-pastian. Bukan jaminan bahwa kekuasaan yang diperoleh menyelamatkannya. Kekuasaan untuk menyelamatkan, meneruskan, tanpa perubahan mendasar adalah pilihan paling menggoda. Pola, cara kerja dan manfaatnya relatif sudah dikenal. Perolehan kekuasaan lebih pasti jaminan perlindungan keamanannya. Perolehan kekuasaan mayoritas yang bagaimana yang diperjuangkan adalah pertimbangan untuk menentukan pilihan.

Peraturan dibuat untuk dilanggar. Silahkan ratusan aturan dibuat. Bagaimanapun ketat dan rincinya aturan, pasti akan dilanggar karena peraturan dibuat tidak di ruang hampa. Peraturan dibuat untuk semua orang termasuk si pembuat aturan itu sendiri. Memang ada kecenderungan bahwa aturan dibuat demi keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Masalahnya, aturan lebih bersifat stabil, sementara kelompok bisa amat dinamis. Apalagi kelompok dalam politik. Jangan lupa bahwa membuat peraturan buat orang lain, berarti sekaligus membuat aturan buat diri sendiri. Tidak bisa menjamin bahwa anggota kelompok tak melanggar aturan. Jika sudah bicara kepentingan pribadi, semua orang cenderung untuk cari selamat sendiri.

Jika aturan main telah disepakati, tinggal menjaganya. Penjaga peraturan harus tegas dan obyektif. Artinya siapapun pelanggarnya harus ditindak termasuk pihak-pihak yang bikin aturan. Jika seorang pencuri membuat aturan agar bisa mempermudah untuk mencuri, maka hal serupa juga diterapkan padanya. Tidak mungkin ia berprofesi sebagai pencuri terus. Pada saat tertentu ia tinggal di rumah dan jadi orang biasa. Maka bisa saja yang menyatroni rumahnya adalah pencuri lain yang menggunakan aturan yang sama. Tidak bisa berkelit bahwa peraturan tidak berlaku di rumahnya karena ia si pembuat aturan. Aturan bagai pedang bermata dua.

Pembuat Aturan

Biarlah pihak lain membuat peraturan. Semakin banyak makin baik. Semakin detail makin baik pula. Masalah utamanya adalah bisakah aturan itu ditaatinya sendiri? Itulah prinsip dasar perlunya aturan. Jika seseorang pada hakekatnya cenderung melanggar aturan, maka aturan itu bagai jaring-jaring yang akan menjebaknya sendiri. Ia bagai memasang perangkap buat dirinya sendiri. Jika peraturan sudah lahir, maka tidak bisa bilang bahwa peraturan ini hanya untuk kamu dan tidak berlaku buat kami. Maka untuk itu, mekanisme pengawasan peraturan perlu dijaga, dibina dan senantiasa dipertajam hidung pengendusnya. Aturan tidak ada yang memiliki selain negara. Siapapun tidak bisa lolos dari jerat jika memang melanggar aturan. Aturan negara harus berdiri di atas semua orang, golongan dan kepentingan.

Konsistensi dalam menaati peraturan diharapkan dari semua orang. Tapi dalam realita, hanya orang yang punya integritaslah yang bisa melakukannya. Inilah yang bakal membedakan nantinya ketika sebuah aturan diterapkan. Hanya orang-orang yang punya integritas bakal selamat. Bagi orang berintegritas, ada aturan atau tidak, tingkah lakunya tak akan berbeda banyak. Mereka selalu berjalan di jalan yang tidak melanggar hukum. Atau bertindak sesuai hati nuraninya yang lurus.

Elite politik atau penguasa sering bersembunyi di balik aturan karena yakin bahwa aturan itu tak berlaku baginya. Merasa dirinya tak bakal tersentuh oleh aturan. Aturan itu hanya berlaku buat orang di luar sana. Di luar kelompoknya. Hanya berlaku buat khalayak ramai tidak berlaku buat khalayak khusus yang jumlahnya segelintir. Itulah kaum elit yang terbiasa berada di atas. Jika pemerintah menerapkan aturan dengan tegas, maka segelintir elit politik tersebut bakal ikut terciduk. Gelagapan mendapati kenyataan bahwa mereka bukan lagi golongan elit yang kebal hukum. Itulah tugas pemerintahan Jokowi bila ingin bertahan hidup disela gencarnya serangan oposisi yang seolah merasa makin bisa mencengkeramkan kukunya.

Jokowi perlu orang-orang yang berani membela tegaknya aturan. Kalau perlu berani menantang untuk berduel demi tegaknya aturan bersama secara transparan. Tidak hanya bisik-bisik di balik pintu. Tidak mencerminkan sikap permisif secara berlebihan. Tidak main uang, sogok, relasi, lobi dan transaksi. Tidak menyelesaikan masalah hukum dengan politik atau mempolitisir masalah hukum. Masalah hukum dan masalah politik harus terpilah dengan tegas dan jelas.

Bengkoknya Aturan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline