Lihat ke Halaman Asli

Herry B Sancoko

Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Kita Bangsa yang Romantis Emosional

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14135857401597948205

[caption id="attachment_348385" align="alignnone" width="635" caption="Sentimentil Rasa Nasionalisme (Sumber foto: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/10/mw0dcy-pejuang-tak-pernah-saling-menyalahkan)"][/caption]

Pertemuan Jokowi dan Prabowo melegakan banyak pihak. Diliput secara luas oleh media dari berbagai sudut pandang. Reaksinya positif. Akibat pertemuan tersebut dikabarkan nilai rupiah menguat. Pendukung masing-masing pihak lebih cair ketegangan permusuhannya. Bahkan banyak yang menarik nafas lega dan bersyukur dengan simbol kedamaian yang dilakukan oleh dua orang yang sebelumnya dikabarkan saling memusuhi.

Gambaran yang ada di media, suasana politik tanah air jadi dingin. Pelantikan Jokowi sebagai Presiden bakal tanpa halangan. Berjalan mulus dan sukses. Masa depan pemerintahan Jokowi dipandang jadi lebih optimis. Pembangunan ekonomi Indonesia bakal sukses. Dan lain-lain pandangan positif dilontarkan berbagai media. Komentar pembaca juga banyak positif.

Kadang penulis merasa heran. Kenapa keadaan begitu mudah berubah? Yang tiba-tiba panas, penuh curiga, saling umpat dan sebagainya, begitu Jokowi dan Prabowo ketemu kesannya langsung kempes dan dingin. Seolah tak berbekas. Hilang sirna di udara?

Pertemuan kedua elit politik tersebut akhirnya menyerempet juga pada tokoh politik lainnya yang selama ini dianggap tak mau akur, yakni SBY dan Megawati. Beberapa kalangan menyorot sikap Megawati yang tak legowo karena kalah pemilu dan mendendam hingga kini. SBY dan Megawati masih berseteru berkepanjangan. Mereka berdua seharusnya mengambil pelajaran dari pertemuan antara Jokowi dan Prabowo. Mencontoh sikap kenegarawan mereka. Namun perseteruan antara SBY dan Megawati tidak berdampak lebar. Esensi perseteruan keduanya memang beda.

Salah cara untuk mengontrol masyarakat secara politik adalah dengan menanamkan budaya rasa takut. Di jaman Orde Baru budaya rasa takut ini dibina lewat kekuatan militer dan propaganda anti PKI. Dan usaha ini terbukti efektif dan selama 30 tahunan sehingga pemerintahan Orde Baru bertahan tanpa oposisi yang berarti.

Setelah Orde Baru tumbang, jalan yang dipakai untuk mengontrol politik berbelok arah meski sama-sama bernuansa emosionil yakni budaya moralitas yang berkaitan dengan supernatural. Isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan moralitas disebarkan. Lahirnya para pendakwah di media massa menjamur. Baik dakwah yang berkaitan dengan nilai keagamaan atau moralitas praktis. Diskusi-diskusi moralitas marak di mana-mana. Dakwah terbuka diselenggarakan oleh banyak orang. Lahir ratusan pendakwah yang turun ke desa-desa. Masa yang datang berjubel. Belum pernah dalam sejarah di Indonesia, adanya pendakwah yang menjamur seperti jaman reformasi.

Kasus menikahnya seorang seniman dengan seorang peri adalah dampak dari budaya moralitas supernatural yang selama ini berusaha ditanamkan oleh pemerintah untuk mengontrol keadaan sosial dan politik di Indonesia. Peristiwa tersebut bisa dipandang sebagai kritik budaya terhadap kehidupan moralitas supernatural yang makin tidak realistis. Pernikahan dengan peri tersebut menyiratkan seolah alam supernatural bisa dijelmakan dalam realitas. Batas antara realita dan alam supernatural jadi baur. Sebuah kemunduran budaya yang cukup mengkhawatirkan. Sebuah keadaan budaya yang mungkin dipandang tidak tepat lagi dalam menghadapi persaingan antar-bangsa yang makin terbuka, lintas budaya dan lintas geografis. Persaingan antar-bangsa yang memerlukan corak pemikiran realistis dan rasionil.

Nampaknya alat pengontrol politik dengan moralitas supernatural segera berakhir. Peristiwa protes kekerasan yang dilakukan FPI terhadap status Ahok yang terjadi baru-baru ini telah menuai kritik keras. Dan FPI terancam untuk dibubarkan. Meski FPI sudah berkali-kali terlibat dalam aksi unjuk rasa kekerasan, tapi baru kali inilah kritikan pedas dilontarkan oleh banyak kalangan. Terutama dari kalangan polisi.

Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY, alat pengontrol masyarakat nampaknya kembali mulai bergeser. Yakni mengaduk-aduk rasa sentimentil. Hal ini nampak jelas dengan pertemuan antara Jokowi dan Prabowo. Perseteruan antar kedua tokok elit politik tersebut sepertinya memang dibina hingga berlarut-larut dan menggunung. Dan akhirnya digembosi begitu Jokowi hendak dilantik sebagai presiden. Dampaknya memang amat efektif. Kedua kubu pendukung masing-masing saling mendekat dan merasa lega. Dikatakan bahwa pertemuan kedua elit politik tersebut membawa angin segar pada persatuan Indonesia yang selama ini dianggap sempat terpecah-belah setelah pilpres.

Barangkali rasa sentimentil ini akan dipertahankan dalam pemerintahan Jokowi mendatang. Rasa yang mengaduk-aduk sentimentil nasionalisme. Mungkin kita akan kembali seperti pada jamannya Soekarno. Rasa nasionalisme yang sentimentil akan menjadi bumbu sedap dalam mempertahankan kestabilan politik di Indonesia. Rasa sentimentil keterpihakan pada kawulo alit akan terus dipupuk untuk membangkitkan daya juang masyarakat kita. Rasa sentimentil keterpihakan pada rakyat tersebut amat penting sebagai senjata dukungan moral untuk mengejar kemajuan dan daya saing dengan bangsa lain. Dan tentu saja sebagai modal untuk revolusi mental bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline