Lihat ke Halaman Asli

Yuhesti Mora

Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Car Free Day Area, Deret Fibonacci dan Matematika

Diperbarui: 13 Januari 2019   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pagi minggu waktunya saya biasanya pergi ke Car Free Day area. Hari itu saya ditemani oleh adik sepupu yang berusia 11 tahun yang saya ajak keliling-keliling lapangan Kurma. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mengoceh di sepanjang perjalanan terlebih lagi malam sebelumnya saya habis melahap beberapa video yang salah satunya membahas tentang "Deret Fibonacci". Jadi, saya sedang punya banyak bahan obrolan saat itu.

Orang-orang yang dekat dengan saya rasanya sudah maklum, jika sudah mulai ya susah berhenti. Nah, adik saya yang satu ini he'eh saja saya ajak bercerita. Dia tentu saja belum tahu siapa itu Fibonacci apalagi tentang deretnya. Tetapi saya salut akan kesungguhannya mengikuti semua yang saya sampaikan. Terlepas apakah ia bisa mengerti atau tidak.

Saya katakan padanya bahwa apa yang sedang kamu lihat di sekeliling ini sebenarnya adalah matematika. Dan sebelum ia bertanya saya sudah menyambung ucapan kembali untuk menyuruhnya memperhatikan tubuhnya sendiri dari ujung kaki hingga ujung kepala dan mengatakan padanya bahwa semua itu adalah bilangan. Sesuatu yang bisa ia hitung.

Kemudian menyuruhnya menghitung berapa jumlah tangan, kaki, jemari pada tiap-tiap tangan dan berapa jumlah indera. Ia menjawab ada dua tangan, dua kaki, dua mata, satu hidung, ada lima jari pada tiap-tiap tangan dan kaki. Dan kusimpulkan dari jawabannya bahwa kami dapatkan angka satu, dua dan lima.

Sambil berjalan pulang saya menyuruhnya lagi untuk menghitung kelopak bunga apa saja yang kami temui di sepanjang jalan. Dia bersemangat sekali menghitung dan mendapatkan angka-angka tertentu. Ada bunga yang berkelopak tiga, lima dan delapan. Mengakhiri perjalanan itu saya bertanya padanya mengapa harus angka-angka itu ya? Dia diam (dan terlihat berpikir).

Saya teruskan dengan menanyakan apakah ia tahu bahwa deret Fibonacci juga adalah deretan angka-angka tersebut, yaitu satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas dst yang angka selanjutnya merupakan penjumlahan dua angka sebelumnya. Dia masih diam. Barangkali ia sedang berusaha mencerna apa yang saya katakan barusan.

Saya lanjutkan bahwa apakah semua yang terjadi di sekitar kita adalah semacam kebetulan belaka? Tepat setelah pertanyaan itu, saya dan ia berpisah. Namun, di kepala saya masih banyak kata-kata yang harus dikatakan. Dan ketika memperhatikan punggungnya menjauh saya teringat beberapa hari yang lalu ia mengeluhkan betapa susahnya pelajaran matematika. Saat itu saya bertanya-tanya cerita-cerita semacam ini akan terhitung sebagai apa ya dibenaknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline