Ketika saya akhirnya menjadi seorang guru untuk pertama kalinya, saya tidak pernah membayangkan akan menemui hal-hal unik selama mengajar. Ketika di ruang kuliah dulu, kita diberikan materi bagaimana menjadi seorang guru, bagaimana menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, bagaimana menyusun dan melaksanakan evaluasi dan sebagainya. Sementara pengetahuan tentang bagaimana mendidik, porsinya sangat sedikit. Oleh karena itu keterampilan mendidik itu hanya bisa saya dapatkan melalui pengalaman mengajar bertahun-tahun. Setiap guru tentu saja memiliki kisahnya sendiri, dan tulisan ini adalah sepotong pengalaman saya selama menjadi seorang guru.
Adalah empat kejujuran siswa yang membuat saya tersenyum sekaligus mendorong saya merenungi kondisi pendidikan saat ini dan profesi saya sendiri sebagai seorang guru.
- Saya tidak bisa menjawabnya
Ia seorang siswa SMA saya terdahulu, pada hari ulangan harian pertama di kelas. Ia menemui saya seusai ulangan, "Miss, maaf saya tidak bisa menjawab satu soal pun." Sambil menyerahkan lembar jawabannya yang benar-benar bersih, bahkan namanya pun tak ditulis. Mungkin berbeda dengan orang lain. Saya malah berpikir bahwa anak ini berani sekali.
Saya takjub padanya. Saya kemudian berinisiatif mengajarinya secara privat dan ia mengikutinya dengan baik meskipun tidak selalu. Namun, saya pikir akhirnya tidaklah seperti yang saya harapkan. Belajar bersama itu hanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Saya tidak bisa memaksanya.
Di kelas, ia masih seperti dulu. Ia pernah bergumam, "Sepertinya belajar pun tidak ada gunanya." Demi mendengar itu, saya merasa gagal sebagai seorang guru. Saya gagal menegaskan padanya bahwa tidak ada yang sia-sia dari belajar.
- Apa yang membuat kami stres
Kala itu saya mengajar siswa SMP dan saya memberikan mereka tes keterampilan berpikir kritis yang terdiri dari 76 soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu kurang dari satu jam. Setelah semua jawaban terkumpul dan soal-soal dikembalikan lagi kepada saya, saya pun pulang ke rumah dan bersegera mengoreksi hasil tes itu.
Karena tes tersebut berbentuk pilihan ganda, maka mengoreksinya pun tidaklah terlalu lama. Tepat setelah saya selesai mengoreksi, saya hendak merapikan soal-soal dan iseng-iseng membuka-buka beberapa laman soal dan ternyata banyak tulisan-tulisan yang---setelah saya baca seksama---ditujukan kepada saya (sebagai seorang guru).
Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah yang menuliskan bahwa tugas-tugas dan tes-tes semacam inilah yang membuat mereka stres. Sesaat setelah membaca tulisan tersebut, saya terbayang Prof. Oong Komar yang dalam kuliahnya mengatakan bahwa akar dari permasalahan sosial remaja (tawuran dan kenakalan lainnya), adalah karena guru yang terlalu banyak memberi tugas. Meskipun terdengar berlebihan, tapi saya pikir hal itu ada juga benarnya.
- Untuk apa sekolah?
Seorang siswi yang cukup dekat dengan saya, kami sering mengobrol melalui telepon. Suatu kali di dalam salah satu pembicaraannya, ia mengatakan bahwa sekolah itu tidaklah penting. Ia menceritakan perihal orang-orang hebat dan populer yang sukses tanpa harus sekolah dan saya masih ingat jelas saya menanggapinya dengan beberapa pertanyaan yang intinya memiliki satu gagasan pokok, bahwa apakah ia yakin ia dapat sukses dengan tanpa sekolah? Sementara itu terjadi gejolak di benak saya, antara bingung dan kagum. Ia benar-benar mengejutkan saya dengan sebaris pernyataan yang ia ungkapkan dengan emosional itu. Dan pernyataannya itu membuat saya berpikir ulang, tentang konsep sekolah yang ideal itu sendiri.
- Rajin membolos
Di sekitar rumah saya ada seorang anak SD yang sering kali saya lihat tidak pergi sekolah. Ketika saya tanya, jawabannya lugas sekali, bahwa tidak ada pelajaran di sekolah sebab ada persiapan ujian. Oleh karena itu ruang kelas mereka tidak bisa digunakan seperti biasa. Saya pun menasehatinya selayaknya seharusnya, bahwa mereka seharusnya tetap bersekolah. Meskipun begitu, saya mencoba memahami apa yang mereka rasakan. Saya ingin membiarkannya saja. Membiarkan mereka mengutarakan pikirannya tanpa harus berpura-pura, tanpa harus muluk-muluk dengan nasihat-nasihat umum yang kaku.
Saya mau membiarkan mereka berpikir dan menimbang-nimbang sendiri apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat untuk mereka. Apalagi ketika membolos itu, ia justru melakukan hal yang berguna. Ia membantu orang tua di rumah, berjualan dan membaca buku. Sebaliknya, jika ia bersekolah di hari itu, maka ia akan menghabiskan waktunya di sekolah tanpa melakukan apa-apa.