Kau bilang aku harus banyak membaca karya-karya fiksi yang seperti ini. Renyah, memiliki kekayaan bahasa dan makna. Sudah lama sejak kudengar kalimat itu untuk terakhir kalinya. Apakah kau pun masih ingat kapankah itu kira-kira? Kabar baiknya-kukira bukan pula untukmu-beberapa sore ini aku melahap kata demi kata, lembar per lembar, hingga hampir semua bagian bab ku jelajahi untuk menyelami si tokoh aku dalam novel sastra ini.
Membaca, sewaktu kecil, pertama kali mengenal kata aku belajar mengenali huruf dalam kata itu, kemudian mengejanya dan merangkaikan bunyi per huruf hingga menjadi sebuah kata yang utuh. Perjalanan kita dengan kata memberikanku ide untuk menganalogikannya sebagai proses bertemu, mengenal, berpacaran kemudian menikah dengannya. Fase untuk bertemu dan mengenal telah kita lalui semasa sekolah dasar. Di sekolah menengah kita telah mengetahui banyak hal karena kita berinteraksi dengan kata-kata. Seperti halnya berpacaran dalam arti sebenarnya, ketika dalam proses itu kita mengetahui informasi yang dibawa olehnya. Begitu pula dengan kata. Berinteraksi dengan mesra lebih dekat dengan interpretasi pacaran oleh banyak orang, meskipun tidak selalu begitu. Orang terkadang lupa dengan interaksi semacam sahabat, juga interaksi dengan keluarga. Dan kapan fase yang kusebut sebagai menikahi kata-kata. Ku kira saat ini sedang ku jalani pernikahan itu. Saat aku menuliskan sesuatu. Mengikat pertalian informasi yang dibawanya dengan makna yang ingin kusampaikan. Kita memiliki tujuan yang sama mengarungi bahtera ke hati para pembaca.
Tadinya, aku sedang ingin memulai kembali masuk ke duniaku yang tidak meliar seperti ini. Ku katakan liar sebab aku tidak memilah-milah apa yang harus ku tulis dan tidak ku tulis. Ada beberapa kriteria untuk itu, salah satunya ku kira adalah ketepatan. Sedangkan, sekarang aku tidak sedang melalui proses semacam itu. Seolah segala kata yang tercurah, terjun bebas dari ujung jemariku, melalui keyboard kata-kata tersebut sampai di layar laptop. Bila kau tanyakan mengapa aku begini. Entahlah. Tetapi cobalah mempertimbangkan beberapa hal berikut sebagai asumsi.
Asumsi yang pertama, sering kali ketika aku sedang membaca sebuah karya sastra, baik itu cerpen maupun novel, bahkan pusi sekalipun, setelahnya ada perasaan tokoh di dalam karya itu yang tertinggal di hatiku. Mengapa? Semua karya sastra itu menampung semua luapan emosi, entah itu bahagia, kesedihan juga dilema. Aku sempat ingin mengatakan bahwa adalah hak perogatif bagi penulis untuk memilih emosi yang ingin dituangkannya ke dalam sebuah tulisan, sebelum akhirnya berhenti di kata terakhirnya. Dalam hitungan detik pikiranku ingin menggantikan kalimat itu, sebab ada kalanya penulis tidak memilih emosi, tetapi emosi yang datang pada mereka, dan gambarannya itu yang dicurahkannya. Katanya, penulis yang profesional dapat dengan mudah memanipulasi tokoh, setting dan emosi dalam tulisannya sedemikian rupa tetapi ku kira lebih banyak penulis lain di luar sana yang menggunakan emosi yang datang padanya untuk menciptakan sebuah karya.
Bagaimanapun sebuah karya diciptakan, emosi yang dibawanya masuk ke dalam hati pembaca, terkhusus bila pembacanya seperti aku. Aku sedang membaca sebuah novel Afrizal Malna yang berjudul “Kepada Apakah”. Tokohnya mengembara, membawa sebuah pertanyaan di sakunya tentang apa yang kamu ketahui tentang apakah. Aku tenggelam bersama perjalanannya yang panjang dan melelahkan dalam imajinasinya yang meliar terhadap segala hal yang ditemuinya, di jalan-jalan, di sebuah kota, entah itu tentang seseorang atau sebuah pagi yang ia rindukan. Perasaan dilematik-begitulah ku kira merangkum apa yang dirasakan oleh tokoh tersebut-masih tersisa di dalam sini. Ada istilah untuk cinta, yang datang ke mata lalu turun ke hati. Kata-kata yang bercerita tentang tokoh itu, tentang perasaannya, datang pula ke mataku dan berakhir di hati. Apakah itu juga disebut cinta?
Lalu asumsi yang kedua bahwa aku rindu. Sudah beberapa malam ini aku merasakan perasaan yang kusebut sebagai rindu. Bayangan orang-orang datang dari entah, aku tak tahu embusan angin mana yang membawanya hingga terdampar seolah-olah beberapa milimeter saja di depan mataku. Sepotong kenangan terhadap orang yang tak ada di sisiku sekarang, datang untuk apa? Aku merasa sesak di salah satu bagian dadaku, tidak tahu tepatnya di bagian yang mana. Orang bilang itu hati-sebenarnya merujuk pada jantung-tetapi bagaimanapun aku masih tak yakin jantung masih memiliki ruang untuk masa lalu, di sana hanya ada darah yang bercampur oksigen dan senyawa karbon.
Kemarin, aku ceritakan padamu tentang seseorang. Kukatakan padamu bahwa akhir-akhir ini aku seperti pergi ke masa lalu, tiba di masa ketika segala tentang orang itu memenuhi isi kepalaku, memenuhi perjalanan waktu untuk rentang tertentu. Aku kembali kepada perasaan-perasaan bersalah itu. Untunglah aku punya kamu, menjemputku dari masa lalu untuk kembali ke kamar kostku yang bercat ungu. Kembali pada buku-buku yang bersusun di rak di hadapanku, kembali pada suaramu yang datang sebagai sebuah gelombang yang menggetarkan gendang telingaku. Kembali kepada kenyataan yang membentang di depan mata. Setelah itu aku merasa perlu berlari mencari kehidupan lain dalam ragaku untuk mengalahkan sesuatu yang hidup di kepalaku yang kini meliar seperti rerumputan di seberang pagar.
Asumsi yang ketiga. Aku hanya akan menceritakan ketidakmampuanku untuk tidak menyelesaikan yang seharusnya aku selesaikan saat ini. Kau akan mendengarku bercerita tentang kicauan-kicauan yang sekarang mendominasi hidupku sepanjang hari dan malam. Juga tentang alunan melankolis dari sebuah melodi rindu yang mendominasi getaran gendang telingaku. Ah, inilah mengapa aku tak ingin menjelaskan secara detail. Pertama, kau akan membuat semacam inferensi terhadapku. Dan yang kutakutkan adalah di masa depan kau akan kembali ke masa ini. Tersesat dalam inferensimu terhadapku dan mengaburkan apa yang ingin kusampaikan di masa yang lebih baru, tentu dengan pemikiran yang lebih memuat informasi-informasi baru. Entah kau akan sepakat atau tidak bahwa orang yang mendengarkan rentan tersesat dengan masa lalu ketika yang bicara menuntut kekinian. Aku takut, kau akan tersesat ke masa lalu-entah masa laluku yang mana- ketika mendengarku bicara sekarang. Begitu eratnya kaitan antara masa lalu, masa ini dan masa depan yang kadang membuatku kabur sebenarnya kita sedang hidup di masa yang mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H