Melanjutkan cerita liburan saya ke Seoul sebelumnya, saya cukup puas dengan makan siang yang enak di restauran tua di Korea tersebut...acara masih berlanjut memang, tapi karena musim dingin, jadi langit cepat gelap, dan kami memutuskan pulang lebih awal.
Esoknya, saya dapat bekal dari istri teman saya sebuah tiket transportasi umum untuk menjelajah Seoul sendirian, tentu saja setelah saya dibekali info naik bus apa supaya saya bisa melihat berbagai lokasi wisata di Seoul. Nggak sangka, di Seoul, ternyata saya bertemu teman kantor saya dulu di Los Angeles, yang lagi di Seoul. Blessing in disguise, saya ternyata tidak perlu berpetualang sendirian kali ini. Setidaknya untuk urusan foto-foto, saya yakin sudah punya andalan fotografer dadakan. Dan dia senang-senang aja, mengambil foto bergantian, sambil menjajal makanan serangga korea, termasuk beondegi, larva ulat sutera yang direbus dan yang dijual di depan istana.
Dia pun senang ada teman jalan-jalan keliling Seoul, karena sudah dua minggu ada tugas disitu, belum ada kesempatan jalan-jalan liburan. Kami memutuskan naik bus hop on hop off seharian, supaya bisa langsung diturunkan ke lokasi-lokasi wisata yang dikhususkan untuk turis.
Rute pertama, tentu saja adalah istana Gyeonghui yang terletak di pusat kota, dengan patung emas di depannya. Teman saya senangs ekali, dapat guide dadakan yang sudah ke tempat itu sebelumnya. Saya mencari gadis korea yang berbaju tradisioanl korea yang memang rupanya , ada sesi pemotretan gadis-gadis berbaju tradisional Korea hari itu di istana. Sungguh kami beruntung! Maka ceprat cepret, kami mejeng dekat gadis-gadis Korea dengan hanbok, baju tradisionalnya. Upload foto di facebook, nampaknya kudu dipajang gambar beginian..dimana lagi dapat foto dengan gadis cantik asli Korea dengan baju tradisionalnya, kalau tidak di Negara ginseng sendiri, kan?
Kami juga tak sabar menunggu pertunjukan prosesi pergantian prajurit penjaga istana Gyeonghui dengan baju kostum tradisional dan tampangnya yang dingin berdiri di pintu besar istana, sementara kita berfoto cengar-cengir nggak jelas di sampingnya. Jadi ingat tampang prajurit Kerajaan Inggris di depan Istana Buckingham, London yang saya lihat sewaktu berlibur beberapa tahun sebelumnya. Saya melihat memang pintar cara pengemasan suatu tempat wisata Negara ini supaya menarik wisatawan, apalagi ditambah orang-orang dengan kostum tradisionalnya...rasanya seperti dibawa ke jaman kerajaan di Korea Selatan , menimbulkan fantasi, seolah kita terperangkap dalam mesin waktu menembus masa lalu....wowww!!
Mengingat bus hop on hop off kami selesai pukul 7 malam, maka memaksimalkan harga tiket bus hop on hop off keliling Seou yang cukup mahal kami belil, maka kami perlu lakukan travelling dengan cepat, dari istana Gyeonghui, kita berkunjung ke pasar makanan tradisional korea di Insadong. Pertama kalinya, disitu, saya melihat cumi mentah dan masih hidup dimakan dan ditelan sebagai makanan khas tradisional disana, cumin dibumbui wijen, rasanya kok perut saya sudah geli membayangkan cumi-cumi itu mungkin masih hidup ketika masuk usus...haaaah..horor....
Saya tentunya memilih makanan yang aman, yaitu bimbimbap. Penjualnya sama sekali tidak berbahasa Inggris, dan teman saya tidak bisa bahasa Korea juga. Maka disinilah transaksi dan pembelian dengan asal tunjuk jari dan bahasa isyarat dimulai. Cuaca masih terasa sangat dingin saat itu, tapi bangku-bangkunya ternyata ada pemanasnya, sehingga pantat saya terasa hangat begitu duduk di bangkunya untuk makan.
Saya coba semua sayuran hijau yang saya tidak pernah lihat dan cicipi di Jakarta atau di Indonesia. Penjualnya sneyum-senyum dan mencoba berkomunikasi dengan kami berdua, kami hanya senyum-senyum, pada akhirnya frustasi, kami memutuskan memakai bahasa Jawa dan penjualnya berbahasa korea...hahahaha...nggak nyambung sama sekali..setelah itu kita terbahak-bahak, karena sama-sama tidak paham. Konyol sekali.
Saya mengamati buah-buahan yang nampak cantik dan bersih, meskipun hanya sawi putih, terlihat begitu indah dipandang mata. Begitupun cemilan jajanan di pasar itu, nampak menarik, walaupun saya tetap rindu rasa pedas cabe rawit di Indonesia. Dasar lidah Jawa!
To be continued....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H