Pepadi (6):
Menggali Sumbangan Jawa untuk Manajemen
Oleh Ki Sutadi Ketua Pepadi Propinsi Jawa Tengah
(Bagian 2/2)
Artikel ini kiriman Bapak Sutadi Siswarujita atau Ki Sutadi, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia ( PEPADI ) Propinsi Jawa Tengah, Sarasehan Budaya Jawa di Semarang Mei 2005. Menggali Sumbangan Jawa untuk Manajemen Oleh: Ki Sutadi, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia Propinsi Jawa Tengah Sumbangan Jawa untuk Manajemen Wong Jawa, budaya Jawa dan jagad Jawa telah menjadi sumber belajar yang tak pernah habis bagi para pakar mancanegara. Dalam rentang waktu yang amat panjang telah banyak dihasilkan buku-buku dan karya ilmiah yang menarik untuk diikuti. Selanjutnya melalui pendekatan ‘cultural universals’ perlu dicari ajaran Jawa yang ‘ada’ dalam bahasa dan sastra Jawa. Nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa menjadi sumber ajaran (wulangan) Jawa disamping tradisi lisan. Dr Sudi Yatmana memerinci bahasa dan sastra Jawa antara lain sebagai berikut: aksara Jawa (ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba tha nga), babad, riwayat, carita gancaran, carita cekak, carita ginurit, saloka, novel, esei, naskah-naskah, manuskrip, primbon, wejangan, wedharan, andharan, pitutur, pepali, suluk, kidungan, tembang, dll. Dalam sastra Jawa terkandung puspa ragam ngelmu Jawa seperti: filsafat Jawa, etika Jawa, kebatinan (kejawen), ‘ngelmu kasampurnan’, ‘sangkan paraning dumadi’, kawaskithan, kalantipan, ngelmu mistik (tasawuf), kajiwan, ngelmu karang, kanuragan, guna kasantikan, pawukon, petung, palintangan (horoscope), ramalan, jangka, pralambang, ngelmu kalang, ngelmu wewangunan (arsitektur) dll nya. Ajaran Jawa yang kadang berupa lambang (simbol) juga terdapat di dalam Tradisi , adat istiadat, upacara (ritus, ritual), pewayangan dan pedalangan (seni widya, seni ripta, seni karawitan, seni sastra, dan seni pentas), ungkapan-ungkapan tradisional dll nya. Dengan merujuk pada unsur–unsur budaya Jawa tersebut, dapat digali sumbangan Jawa untuk manajemen kontemporer dewasa ini. Selanjutnya dalam menggali dan mengidentifikasi nilai-nilai yang ada di budaya Jawa perlu dianalisis dan dikaitkan dengan unsur-unsur, isue-isue maupun persoalan-persoalan yang ada dalam manajemen. Berkaitan dengan itu ada beberapa unsur budaya Jawa yang dapat dipertimbangkan dan disumbangkan untuk manajemen, antara lain : Pertama, nilai-nilai filsafati dalam ‘aksara Jawa’ dapat menuntun manusia dalam membentuk pribadi mulia dalam mengatur hubungan dengan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa. Struktur keajaiban aksara Jawa dapat menuntun kesadaran manusia tentang kodratnya “dari tidak ada, akan kembali menjadi tidak ada”. Sri Rahayu Wibawa menjelaskan secara lengkap nilai-nilai dalam aksara Jawa, antara lain 5 (lima) tuntunan untuk manusia dalam hidupnya yang hanya sebentar (suwene kaya wong mampir ngombe), yaitu (a) menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa; (b) patuh terhadap hukum negara maupun hukum agama; (c) Mempererat hubungan horisontal dengan sesama manusia; (d) memiliki etika; dan (e) mempertinggi dedikasi dan loyalitas. Dalam tuntunan untuk menulis aksara Jawa selalu didahului dengan huruf ‘nga’ dan ‘ba’ (mangajapa becik). Hal ini mengajarkan agar setiap memulai tugas kewajiban agar selalu memiliki niat dan iktikat yang baik. Nilai-nilai yang terkandung dalam aksara tersebut sangat relevan dalam mewujudkan ‘insan-insan manajemen’ yang baik dan berbudi luhur, memiliki kesadaran dan tingkat religiusitas yang tinggi serta menjaga keserasian, keseimbangan, keselarasan hubungan baik secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan lingkungannya. Kedua, nilai-nilai filsafati yang terkandung dalam sesanti ‘mamayu hayuning bawana” yang kemudian diperluas dengan ‘mamayu hayuning nusa lan bangsa’, dan ‘mamayu hayuning sasama’ juga dapat disumbangkan untuk manajemen. Posisi manusia di tengah-tengah jagad raya menganjurkan dan mengajarkan kepada kita untuk ‘sadar kosmis’, faham tentang ‘eco system’, dan perlu kembali ke alam (‘back to nature’). Jagad, isi dan fenomena alam dalam ajaran ‘mamayu hayuning bawana’ perlu dipelajari dan dihayati agar timbul gerak untuk mencintai, memperindah, memelihara dan melestarikan alam. Hal-hal yang berkaitan dengan fenomena, karakter, siklus, perubahan ‘mobah-mosiking’ alam (jagad, rat, bumi, bantala, her, maruta, hagni) perlu diikuti dan dikaji dengan saksama. Dalam kaitan dengan hal ini ada nasehat dan ungkapan yang layak untuk direnungkan yaitu: ‘patang prekara yaiku angin, banyu, geni lan lebu menawa dikuasani, iku mikolehi, yen ora bisa andrawasi’. Petunjuk untuk membaca isyarat dan tanda-tanda alam memang sangat dianjurkan dalam budaya Jawa agar hidupnya selaras dan harmonis dengan alam. Sikap untuk mengetahui ‘mobah-mosiking’ alam dan tanggap terhadap sasmita alam sangat bermanfaat dalam perencanaan menghadapi bencana alam. Dalam pada itufilosofi yang terkandung dalam sebutan Paku Buwana dan Hamengku Buwana yang ‘hamangku, hamengku hamengkoni’ dapat dan perlu menjadi roh atau spirit dan orientasi dalam sistem manajemen wilayah, kawasan dan lingkungan. Dalam rangka manajemen pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), filosofi ‘mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning nusa bangsa’ dan ‘mamayu hayuning sasama’ masih relevan untuk dihayati dan dilaksanakan. Ketiga, dalam pewayangan dan pedalangan banyak sekali nilai-nilai, ajaran, wejangan, wedharan, wulangan dan budipekerti yang perlu dikaji dan disumbangkan untuk manajemen. Ajaran tentang kearifan, ‘kawicaksanan’ dan kewibawaan untuk para pemimpin, banyak dijumpai dalam pewayangan. Dari kakawin atau cerita Ramayana, antara lain ditemukan ajaran ‘Astha Brata’ atau delapan brata (laku) atau sifat Dewa yang diajarkan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisana yang akan diangkat sebagai raja Lengkapura. Astha Brata tersebut meliputi: ‘Indra Brata, Yama Brata, Surya Brata, Candra Brata, Bayu Brata, Danaba Brata, Pasa Brata dan Bahni Brata’. Dalam mewujudkan (manajemen) negara dan rakyat yang sejahtera, tentram, damai, teguh kuat, sentosa perlu melaksanakan Astha Brata. Versi lain tentang Astha Brata yang diajarkan oleh Begawan Kesawasidhi kepada Arjuna, agar memiliki ‘laku hambeging’ : ‘kisma, tirta, samirana, samodra, candra, baskara, dahana lan kartika’. Ajaran tentang watak, perilaku dan karakter yang terkandung dalam Astha Brata adalah: pengasih dan pemurah, asih ing sesami, susila anuraga, adil paramarta, sabar dan ‘menampung’ semua, ‘menyinari’ semua, memberi daya kekuatan, memerangi angkara murka, teguh dan sentosa. Dalam pocapan Ki Dalang ada gambaran keadaan, cita-cita atau visi yang ingin diwujudkan, yaitu : ‘ ... Dhasar nagari panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja. .... Para mantri bupati sapanekare sami wicaksana limpad ing kawruh, tansah hambudi raharjaning praja. Dhasar nagari gedhe obore padhang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane. Bebasan ingkang celak manglung ingkang tebih tumiyung. .....’. Dalam pewayangan dilukiskan adanya Visi (management by vision ?) yang ingin diwujudkan. Selain itu juga terkandung citra kenegaraan yang memiliki kewibawaan dan jangkauan yang luas ke kawasan lain. Selain citra negara yang ideal, dalam pewayangan juga dilukiskan gambaran Raja yang ideal, Ksatria yang ideal, Pendeta yang ideal, Rakyat yang ideal, yang selalu melaksanakan dharma-dharmanya, tugas dan kewajiban-kewajibannya. Dr Hazim Amir MA dengan lengkap dan utuh menyajikan 20 (dua puluh) nilai-nilai etis (adi, luhur, luhung) yang terkandung dalam wayang dalam konteks untuk mewujudkan “manusia dan kehidupan” yang sempurna. Dalam kaitan dengan nilai-nilai etis ini, Ir Sujamto memaparkan perihal ‘Bawa Laksana’ sebagai suatu nilai etis yang sangat dijunjung tinggi dalam filsafat Jawa. Dalam filsafat Jawa seorang Raja (dan tentunya seorang pemimpin) harus memiliki sifat Bawa Laksana, seperti pocapan Ki Dalang: ‘..dene utamane nata ber budi bawa laksana’ (sifat utama seorang Raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).Prinsip-prinsip Bawa Laksana memang terkait dengan nilai yang terkandung dalam ungkapan “Sabda Pandhita Ratu tan kena Wola-wali” yang teguh memegang janji. Itulah sebabnya maka dalam rangka kewibawaan dan kearifan seorang Raja, tidak dikenal istilah ‘esuk dhele sore tempe’ yang maknanya ‘mencla-mencle’. Banyak lakon wayang baik yang bersumber dari Ramayana maupun dari Mahabharata yang memandang penting untuk ‘memegang teguh prinsip’ (prasetya, sumpah, paugeran), antara lain (1) kisah diusirnya Rama oleh ayahandanya Prabu Dasarata karena harus memegang teguh janjinya pada Dewi Kekayi; (2) kisah Adipati Karna karena memegang teguh prasetya atau sumpahnya untuk membela Kurawa; (3) kisah Sumantri yang memegang prinsip untuk teguh mengabdi pada Harjuna Sasrabahu; dan (4) Kumbakarna yang berprinsip ‘right or wrong my country’ sehingga membela Alengka. Prinsip dan nilai yang terkandung dalam Bawa Laksana masih sangat ‘relevan’ dalam konteks manajemen, khususnya untuk pengambilan keputusan dan penetapannya dalam peraturan perundang-undangan. Prinsip Bawa Laksana (dapat) menuntun para penyelenggara negara untuk membuat kajian/telaah yang cermat dan akurat dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan atau pencabutan terhadap keputusan dalam waktu relatif singkat akan meruntuhkan kewibawaan pemerintahan. Masih dalam kaitan dengan pendirian atau watak (karakter) menjunjung tinggi dan memegang teguh prinsip (sebagaimana diperankan oleh tokoh-tokoh wayang tersebut), Sri Mangkunagara IV juga menunjukkan adanya nilai-nilai keteladanan dalam konteks pengabdian dan loyalitas tokoh wayang. Dalam serta Tripama ditunjukkan tiga keteladanan para ‘nayaka praja’ dimaksud dalam 7 (tujuh) bait tembang Dhandhanggula, antara lain: “ ........ kang ginelung tri prakara, guna kaya purune kang den antepi, nuhoni trah utama. ...Kumbakarna kinen mangsah jurit, ......ing tekad datan purun, amung cipta labuh nagari. ... Sri Karna suka manahe, dene sira pikantuk, marga denya arsa males sih, ... aprang rame Karna mati jenemparing, sumbaga wirotama.” Pewayangan tidak dapat dilepaskan dengan peran Dalang yang ‘harus’ lebda ing kawruh, ngelmu, pangawikan, lelungidan, filsafat, kasepuhan, etika dan moral. Dalang menempati posisi yang strategis dalam konteks ‘manajemen pewayangan’ yang mencakup unsur-unsur: bahasa dan sastra, lakon, paugeran, pakem, antawacana, garap lakon, sanggit, seni pentas, gendhing, seni karawitan, swarawati, pradangga, wiraswara dll. bahkan harus dan perlu mengikuti dan mengetahui masalah-masalah pemerintahan, politik, pembangunan, hukum dan sosial kemasyarakatan. Dalang menempati posisi yang amat sentral dalam menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai etika, moral dan ketela-danan, termasuk dalam memberi sumbangan untuk manajemen. Melalui ‘budaya kritik’ yang dikembangkan oleh Ki Dalang banyak yang dapat disumbangkan untuk manajemen pemerintahan dan pembangunan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan. Persoalannya adalah substansi yang perlu dipilih, khususnya menyangkut filsafat, nilai-nilai, norma-norma, paugeran, etika dan moral yang terkandung dalam budaya Jawa yang bermanfaat untuk manajemen kontemporer dewasa ini. Dalang perlu ‘lebda ing kawruh’, mumpuni dan ‘profesional’ dalam mencari, menggali, menyeleksi nilai-nilai budaya Jawa yang (masih) ‘layak’ disumbangkan untuk manajemen. Semua Dalang perlu memasuki dan belajar secara terus menerus di “universitas Jagad Jawa” agar menguasai betul Kebudayaan Jawa, termasuk dinamika dan perubahannya dari waktu ke waktu. Dalang sebagai aset budaya Jawa menempati posisi penting dan perlu didayagunakan dalam memberi kontribusi untuk manajemen. Pewayangan dan pedalangan juga tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat (pemerhati, pecinta, penggemar, penonton) wayang. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan watak (karakter, budi pekerti) banyak dijumpai dalam wayang. Ir Sri Mulyono banyak menyajikan uraian tentang ‘Wayang dan Kharakter manusia’, ‘Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang’, ‘Wayang dan Filsafat Nusantara’. Persoalan yang menarik untuk dikaji adalah : apakah wayang dapat dijadikan wahana pendidikan watak bagi insan-insan manajemen yang memiliki budi luhur? Apakah pewayangan sudah waktunya menjadi silabi dan kurikulum pelajaran pada lembaga pendidikan manajemen? Keempat, nilai-nilai yang terkandung dalam kakawin, naskah-naskah, serat-serat, cerita-cerita, tradisi atau adat istiadat Jawa perlu digali, diinventarisasi, dianalisis dan diseleksi agar dapat/ layak disumbangkan untuk manajemen. Nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan ‘Aja Dumeh’ perlu dikaji dan dianalisis. Aja dumeh kurang lebih berarti ‘jangan mentang-mentang’, yang ditujukan kepada siapa saja yang sedang berada dalam posisi ‘lebih’ dari aspek kewenangan, kepandaian dan kekayaan. Oleh karena itu mempunyai makna ajaran, wulangan atau peringatan yang sangat halus. Ada tembang Gambuh yang berbunyi : “Wonten pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyuh” Dari tembang ini terkandung ajaran, agar ketika sedang berkuasa, jangan sewenang-wenang, jangan kumawasa (menonjolkan kekuasaannya), ‘aja sapa sira sapa ingsun’, dumeh pinter terus kuminter dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang ada di ungkapan aja dumeh masih relevan untuk membentuk sikap, watak dan karakter yang ‘andhap asor, lembah manah’ dan ‘nguwongake uwong’. Sikap ini penting untuk mewujudkan iklim dan suasana yang kondusif dalam manajemen (pemerintahan, pembangunan, perkantoran). Dalam hal ajaran untuk berperilaku baik, terpuji atau utama (uttama) Sri Mangkunegara IV menulis dalamkumpulan piwulang, antara lain yang ditujukan kepada para ‘nayaka dan punggawa’, dalam tembang Dhandhanggula: “Werdiningkang warsita jinarwi, wruh ing hukum iku watekira, adoh marang kanisthane, pamicara punika, weh resepe ingkang miyarsa, tatakrama punika, ngedohken panyendhu, kagunan iku kinarya, ngupa boga dene kelakuan becik, weh rahayune raga”. Banyak sekali karya-karya sastra dari Mangkunegaran yang dapat dijadikan sumber kajian/telaah sebagai masukan untuk pembentukan watak utama dan budi pekerti luhur. Sri Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) dengan Tri Dharma-nya yaitu “rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani”. Sementara itu Anjar Any juga telah melakukan kajian terhadap Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunagara IV dan untuk dapat ‘momot’ petuah-petuahnya memerlukan : kesentausaan budi, keteguhan budi, sabar, tawakal, ikhlas, rela, nrima dan berwatak pandhita. Di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga telah menyerap ajaran atau ungkapan Jawa dengan menetapkan 11 (sebelas) asas kepemimpinan TNI yaitu meliputi : ‘Taqwa, Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, Waspada Purba Wisesa, Ambeg Parama Arta, Prasaja, Satya, Gemi Nastiti, Belaka dan Legawa’. Dalam penyelenggaraan pemerintahan atau ‘ulah kaprajan’ sebenarnya banyak nilai-nilai budaya yang bisa digali dan dikaji dari naskah-naskah kuno. Ir Sujamto menciptakan dan menjabarkan istilah atau paham ‘Tantularisme’ dari ungkapan yang sebagian telah terpatri dalam lambang Garuda Pancasila, yaitu: “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Sementara itu nilai-nilai yang terkandung dalam istilah atau konsep ‘njaga praja’ tidak hanya terbatas pada kiprah untuk mengatur dan menciptakan ketentraman dan ketertiban, akan tetapi sudah bermakna untuk selalu menjaga ‘harkat dan martabat’ negara dan pemerintah; termasuk menjaga ‘harkat dan martabat’ lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan ‘njaga praja’ perlu diupayakan agar institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dalam alur dan jalur ‘laku utama’, sehingga perlu menjauhi tumindak ‘nistha’ yang dapat meruntuhkan harkat dan martabat institusi. Kekuatan sosial politik yang berada di lingkungan lembaga eksekutif dan legislatif, seyogyanya mempelajari dan menghayati ‘sejarah dan filsafat politik’ yang esensinya adalah memainkan peran yang penuh dengan kearifan (kawicaksanan, ‘wisdom’) dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini ada ungkapan yang cukup menggelitik yaitu : pentingnya menghayati filsafat politik bukan malah menikmati ‘pilsyahwat’ politik. Selanjutnya dalam mengemban misi politiknya, seyogyanya menyerap nilai-nilai ajaran Drs RMP Sosrokartono yaitu : (1) ‘ nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji, sugih tanpa bandha’, (2) ’anglurug tanpa bala, tanpa gaman; ambedhah tanpa perang, tanpa pedhang; menang tanpa mejahi, tanpa nyakiti; wenang tanpa ngrusak ayu, tan ngrusak adil; yen unggul, sujud bekti marang sesami’, (3) ‘Leladi Sasamining Dumadi, Mamayu Hayuning Sasami’, Leladi Sasamining Umat, Mamayu Hayuning Jagad’, Ngawula dhateng Kawulaning Gusti, Mamayu Hayuning Urip’. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tersebut, apabila dikaji dan dianalisis masih relevan (gayut) untuk ‘manajemen kehidupan sosial politik’ dewasa ini. Rachmat Subagya dalam penjelasan tentang ‘Etika Ksatriaan dan Kepriyayian’, menilai bahwa ajaran Drs RMP Sosrokartono tersebut mengandung nilai untuk landasan sikap pribadi dan landasan diplomasi. Dinamika dan perkembangan sosial politik dewasa ini sungguh menarik untuk dikaji. Namun perlu disadari bahwa manajemen di bidang politik sangat rumit dan relatif ‘paling sulit’ untuk dikelola. Dalam kaitan dengan hal ini, banyak istilah (term, concept) Jawa yang dapat dipakai untuk melukiskan ‘wacana’, ‘issue’ politik, maupun konflik dikalangan elite politik dewasa ini, yaitu sebagai berikut : ‘kriwikan bisa dadi grojogan’, dhandhang diunekake kontul, kontul diunekake dhandhang’, ‘esuk dhele sore tempe’, ‘mencla mencle’,’cidra ing janji’, ‘njaba putih njero ireng’, ‘melik nggendhong lali’, ‘ambuntut arit’, ‘ujare mbolak mbalik mbulet, ’ana dom sumurup ing banyu’,’ mbidhung kapirowang’,’ nabok nyilih tangan’,’lagi mendem drajat’, ‘kudhung walulang macan’ dan lain-lain masih banyak. Dengan adanya ‘krisis’, ‘kemelut’ atau ‘prahara’ politik dewasa ini, adakah sumbangan Jawa untuk manajemen bidang politik? Jawabannya masih perlu digali, diinventarisasi dan dikaji. Namun demikian apabila uraian dan pandangan Franz Magnis Suseno dipelajari, disimak dan dikaji kembali, ada sesuatu yang esensial yaitu pentingnya untuk menyadarkan ‘dasar etis’ dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Indonesia. Nilai-nilai etis dan filosofis yang terkandung dalam Pancasila perlu (lebih) diaktualisasikan. Sementara itu nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan Jawa berikut ini perlu dikaji dan ditelaah, antara lain: ‘manunggaling Kawula-Gusti’, ‘sepi ing pamrih rame ing gawe’, ‘gotong royong holopis kontul baris’, ‘aja rumangsa bisa bisaa rumangsa’, ‘tan melik tan nampik’, ‘ manembah, manunggal, makarti, makarya, mandhireng’, ’tepa sarira mulat sarira’, ‘eling, pracaya, tresna, temen, adil, budi luhur’, ‘crah agawe bubrah’ dan lain-lainnya. Tatakrama politik, sopan santun politik atau ‘fatsoen politik’ yang dahulu selalu dipegang oleh elite politik angkatan 45 perlu dirumuskan kembali. Kode etik atau ‘code of conduct’ untuk para penyelenggara negara perlu disusun dan dirumuskan. Pedoman atau Tatatertib yang ada di DPR dan DPRD perlu ditinjau dan dikaji ulang. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa cukup banyak untuk memberi sumbangan dalam penyusunan kode etik ini. Kelima, unsur manajemen dari sudut pandang proses, mengatur mulai tahap perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan penga-wasan. Metoda dan teknik yang digunakan semakin canggih sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan berikutnya: adakah sumbangan Jawa untuk itu ? Drs Soetrisno Prawirohardjono antara lain banyak memberi ulasan dan uraian tentang prinsip-prinsip ekonomi dalam masyarakat Jawa. Dalam konteks perencanaan, wong Jawa atau masyarakat Jawa tidak dapat melepaskan dengan tradisi slametan atau wilujengan sebelum memulai suatu pekerjaan. Dari sudut pandang ekonomi sering dianggap suatu pemborosan atau ‘inefisiensi’. Namun salah satu watak wong Jawa yang religius tidak dapat melepaskan hal itu. Slametan yang dilakukan dalam berbagai upacara selalu mengharapkan agar semuanya dapat dilaksanakan dengan baik dan selamat. Harapannya, semua pekerjaan mulai dari purwa, madya, wasana, dapat berlangsung dengan baik tanpa halangan suatu apa (hayu-hayu, rahayu, niskala). Spiritreligius inilah yang mengawali proses peren-canaan dalam tradisi Jawa. Selanjutnya acara selamatan ketika tugas telah selesai dilaksanakan, mengajarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, terutama ucapan atau ungkapan syukur atas berkah dan rakhmat yang telah dilimpahkan dariNya. Slametan dalam budaya Jawa mengandung ajaran perencanaan. Dalam proses perencanaan danpelaksanaan ada ajaran Jawa yang terkandung dalam ‘tanggap ka’ yaitu awalan atau ‘ater-ater’ ka yang diartikan telah melampaui titik optimal, contoh ‘kegedhen, kedawan, kapiken, kakehan’ dll.. Tanggap ka sering disebut juga dengan aja ‘ke-en sebagai contoh jangan atau aja : kedhuwuren, keciliken, kakehen, kebangeten, kebablasen, dll nya. Ungkapan-ungkapan itu menggambarkan adanya ajaran perencanaan dan pelak-sanaan sesuai dengan prinsip-prinsip kelayakan (feasibility study). Ada juga ungkapan: ‘kesusu selak apa, kesuwen ngenteni apa’, ‘alon alon ning kelakon, sing rikat ning aja kebat kliwat’, ‘sing gemi nastiti ngati-ati’, ‘sing rigen mugen tegen’, ‘sing titi rukti rumanti’, ‘aja mindho gaweni’, ‘aja kegedhen empyak kurang cagak’, ‘aja brah breh’ dan lain-lainnya. Prinsip untuk mengutamakan yang lebih penting juga tertuang dalam ungkapan ambeg paramarta. Dari ungkapan-ungkapan tersebut tergambar adanya ajaran Jawa yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan suatu kegiatan. Dalam ajaran Jawa juga dijumpai istilah (term, concept, content) tentang pengawasan. Drs Darmanto Yatman SU antara lain juga banyak menjelaskan pentingnya ‘mawas diri’ sebagai bagian dari pengelolaan diri yang unik Jawa dalam rangka ‘self examination’, ‘self control’, ‘self assesment’, ‘self monitoring’, ‘nuturi, ngandhani, ngelikake’, ‘elik-elik, alok-alok, elek-elek’. dan lain-lainnya. Dalam rangka manajemen pemerintahan untuk mewujudkan ‘good governance’ dan ‘good corporated government’ memang diperlukan pengawasan baik oleh aparat pengawas fungsional maupun lembaga-lembaga pengawasan masyarakat (LSM, ICW, SCW dll). Dalam kaitan dengan hal ini Ir Sujamto mengetengahkan pentingnya etika dan norma pengawasan, antara lain: ‘akhlak, ahli, amal, asah, asih, asuh dan aman’. Selain itu juga dianjurkan untuk memiliki ‘sapta laku’ yaitu : sopan, ber-pengalaman, berinisiatif, teliti, prasaja, jujur dan loyal serta pentingnya ikrar pemeriksa sebelum melaksanakan tugas. Sementara itu Sutadi juga menginventarisasi dan menemukan konsep pengawasan dan pengendalian di era kepemimpinan Panembahan Senopati, antara lain penataan hubungan antara Patih Njero dan Patih Njaba, antara Negari Gung dengan Njaba Rangkah (Bang Wetan, Bang Kulon), penataan hubungan hirarki ‘Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Demang, Bekel’ penataanpola hubungan ‘Panewu, Penatus, Panaket, Panalawe’ dll nya. Pola pengawasan yang juga dilakukan adalah kunjungan berkeliling (nganglang, njajah desa milang kori, tedaan),’ laku namur kawula’ dan menggunakan pola atau cara ‘ telik sandi’. Dalam kaitan dengan pengawasan diper-lukan kode etik pengawasan dengan menyerap nilai-nilai budaya Jawa antara lain yang terkandung dalam : ‘pepali, prasetya, paugeran, wewaler, wulangan, ajaran’ dll yang mengandung nilai-nilai etik dan moral . Ungkapan Jawa yang perlu dikaji dan ditelaah dalam kaitan dengan pengawasan antara lain: ‘Desa mawa Cara, Negara mawa Tata, Sing Sapa Salah Seleh, yen kasinungan Panguwasa aja Kumawasa, yen nduweni Wewenang aja sawenang-wenang, Jejeg Jujur iku Jejering Manungsa’ dll nya Keenam, dalam konteks kehidupan kemasyarakatan dewasa ini banyak kejadian dan peristiwa tentang perjudian, pemerkosaan, penjambretan, pemerasan, penyebaran/ penggunaan ganja, narkoba dan miras, mabuk-mabukan, vcd porno, gambar porno, penipuan, curanmor, pembunuhan, tindak kekerasan dan tindak kriminal lain yang menunjukkan sifat ‘kebinatangan’ dan ‘kebiadaban’. Fenomena ‘dehumanisasi dan demoralisasi’ telah hadir di banyak aspek kehidupan. Di beberapa kasus keadaannya ‘mengerikan’ dan memprihatinkan. Pemberitaan, reportase dan tayangan tentang hal-hal tersebut dapat dilihat di banyak media cetak seperti harian Pos Kota, Pos Sore, Meteor, Kriminal dll atau di media elektronika dengan tayangan Serbu, Buser, Brutal, Kriminal, Kanal, Hot Spot dan lain-lainnya, yang kesemuanya menguatkan fenomena semakin derasnya proses ‘dehumanisasi dan demoralisasi’ kehidupan manusia. Rupa-rupanya tindak kekerasan telah menjadi budaya yang telah hadir mewarnai kehidupan masyarakat kita. Sementara itu dari hari ke hari, kegiatan unjuk rasa, demo, dukung-mendukung, tawuran atau konflik horizontal antar kampung, pengerahan massa, pelecehan, ejekan, umpatan, bentrok massa dengan aparat, pembakaran, pengrusakan, teror, ancaman bom, penggunaan bom molotov dan lain-lainnya, masih sering terjadi di berbagai daerah. Dari hari ke hari tidak pernah sepi dengan demo. Demo atau unjuk rasa telah menjadi ‘budaya’ atau sebagai wahana untuk menghadapi, menentang dan melawan setiap hal yang berbeda, dianggap mengganggu atau merugikan kepentingannya, atau anggapan adanya ketidak-adilan dls.nya. Sampai kapan demo, unjuk rasa, dukung mendukung, pengerahan massa, konflik horizontal dan lain-lain akan berakhir, nampaknya masih sulit untuk diprediksi. Dalam pada itu kondisi dan masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul tidak dapat dilepaskan dengan persoalan di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat. Bersamaan dengan itu bencana alam datang silih berganti mulai dari gempa bumi dahsyat yang mengakibatkan tsunami, banjir, tanah longsor, angin lesus, kebakaran di perumahan/pemukiman, kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas dan lain-lainnya. Prahara alam yang menimpa bangsa ini melengkapi ‘prahara budaya’ yang terjadi. Permasalahan yang dihadapi datang, pergi, silih berganti. Krisis multi dimensi telah hadir dan memerlukan pemikiran dan solusi. Indonesia sedang sedih dan menangis. Adakah potensi budaya Jawa yang dapat disumbangkan untuk manajemen kehidupan tersebut? Jawabannya perlu dicari dan digali bersamaan dengan pencarian potensi budaya-budaya etnis lain yang ada di bumi Indonesia ini. Pendayagunaan potensi budaya Jawa yang penuhdengan kearifan lokal (local genius) perlu sinergis dengan pemanfaatan potensi budaya etnis yang lain, termasuk dari mancanegara.
Ungaran, 11 Mei 2005
Kunjungi: Index Artikel Kompasiana lainnya oleh Hendra Rayana
Ki Sutadi Daftar Kepustakaan
- Yatmana, Sudi, RMA, 2005, Blencong 45, Aneka Ilmu
- Hardjono, Prof Mr, 1965, Tradisi Sosial, Fakultas Sosial Politik UGM.
- Seno Sastrahamijoyo, Prof Dr, 1964, Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit Semalam Suntuk.
- Rahayu, Sri, Wibowo, 2001, Falsafah dan Kawruh Jawa, Aneka.
- Suryo S Nagoro, 2001, Kejawen, Membangun Hidup mapan Lahir dan Batin, Buana Raya.
- Karkana, 1979, Sri Rama Bersabda, UP Indonesia.
- Siswoharsojo, 1963, Pakem Pedalangan Lampahan Makutharama, Gondolayu.
- Hazim Amir, Dr MA, 1991, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Sinar Harapan
- Sujamto, Ir, 1990 Sekitar Prinsip Bawa Laksana, Dahara Prize.
- Karkana, 1992, Karangan Pilihan KGPAA Mangkunagara IV, Yayasan Centhini, Yogyakarta.
- Mulyono, Sri, Ir, Wayang dan Kharakter Manusia, Sejarah dan Asala Usul Wayang, Gunung Agung
- Karkana, 1992, Ibid.
- Anjar Any, 1984, Menyingkap Serat Wedhatama, Aneka Ilmu
- Mabes TNI, 1980, Vadamecum, Seskoad.
- Sujamto, Ir, 1993, Revitalisasi Budaya Jawa, Dahara Prize.
- Sosrokartono, RMP, Drs, 1997, Kumpulan Renungan Rabu Pahing, Bandung
- Subagyo, Rakhmad, 1981, Agama-agama Asli Indonesia, Sinar Harapan.
- FS Darmasoetipto, 1985, Kamus Peribahasa Jawa, Kanisius, Yogyakarta
- Suseno, Frans Magnis, 1984, Etika Jawa, Kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta
- Soetrisno Prawiroharjono, Drs, 1984, Prinsip Ekonomi dalam Masyarakat Jawa, Lembaga Javanologi, Yogyakarta.
- Darmanto Yatman, Drs, SU, 2004, Pengawasan Cara Jawa, Semarang
- Sujamto, Ir, 1983, Norma dan Etika Pengawasan, Ghalia.
- Sutadi, Drs, 2004, Pengawasan Dalam Budaya Jawa, Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H