Pepadi (3):
Sumbangan Jawa Untuk Pembangunan Karakter Bangsa (Bagian 3/3)
Oleh Ki Sutadi Ketua Pepadi Provinsi Jawa Tengah
Artikel ini kiriman Bapak Sutadi Siswarujita atau Ki Sutadi, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia ( PEPADI ) Provinsi Jawa Tengah, yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Jawa. Sumbangan Jawa Untuk Pembangunan Karakter Bangsa Sumbangan Jawa untuk Pembangunan Karakter Bangsa
Jawa, budaya Jawa dan jagad Jawa, suka dan tidak suka telah diakui menjadi medan kajian para pakar dalam negeri maupun mancanegara. Studi tentang Jawa agaknya tidak akan pernah selesai untuk dilakukan. Budaya Jawa selalu memiliki ‘magis’ yang membuat para peneliti —dalam dan luar negerimelakukan berbagai riset dan penelitian tentang Jawa, baik dan segi budaya, agama, masyarakat, mitologi, maupun bahasanya (Benedict R OG Anderson, 1965). Dalam dimensi kesejarahannya banyak sekali kakawin, susastra, dan naskah-naskah yang memiliki kandungan nilai disamping tradisi lisan yang masih ada. Kekayaan sastna dan budaya Jawa antara lain dapat dijumpai pada: aksana Jawa (ha, na, ca, ra, ka da, ta, sa, wa, Ia, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha ,nga), babad, riwayat, carita gancaran, carita cekak, carita ginurit, saloka, novel, esei, naskah-naskah, manuscrip, primbon, wejangan, wedharan, pitutur, pepali, suluk, kidungan, tembang dan lain-lainnya (Sudi Yatmana, 2005). Dalam sastra dan budaya Jawa terkandung aneka warna ngelmu Jawa seperti: filsafat Jawa, etika Jawa, kebatinan (kefawen), ‘ngelmu kasampurnan’, ‘sangkan paraning dumadi’, kawaskithan, kalantipan, ngelmu mistik (tasawuf), kajiwan, ngelmu karang, kanuragan, guna kasantikan, pawukon, petung, palmtangan (horoscope), ramalan, jangka, pralambang, ngelmu kalang, wewangunan (arsitektur), dan lain-lainnya. Wulangan Jawa yang berupa lambang (simbol), juga terdapat dalam Tradisi (Harjono, 1965), adat istiadat, upacara (ritus, ritual), pewayangan dan pedalangan (seni widya, seni rIpta, seni kara-witan, dan senipentas), ungkapan-ungkapan tradisional dan lain sebagainya. Dengan bersumber pada unsur-unsur dan nilai-nilai budaya Jawa tersebut, dapat digali dan diidentifikasi sumbangan Jawa terhadap pembangunan karakter Bangsa. Selanjutnya dalam menggali, mengidentifiksi, dan menganalisis nilai-nilai kejawaan dan sumber-sumber tersebut, diperlukan reIntrepretasi dan rekontekstualisasi, apalagi kalau dikaitkan dengan wacana kekinian yang konteks maupun ‘mindsetting nya sudah berbeda. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, ada beberapa unsur Jawa yang perlu dikaji, dipertimbangkan dan disumbangkan dalam pembangunan karakter Bangsa, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, Bhineka Tunggal Ika tan hana Dharma Mangrwa. Mpu Tantular menggubah syair tersebut dalam nuansa ‘komunikasi’ dan ‘interaksi’ yang indah antara pemeluk Civaisme dan Budhisme. Naskah aslinya adalah: ‘ Hyang Budha tanpahi Civa raja Deva / Rvanekadhatu vinuvus, vara Budha vicva / Bhineki rakva ring apan kena parvanosen / mangka Jinatva lavan Civatatva tunggal / Bhineka Tunggal Ika tan hana Dharma Mangrva ’ . Artinya: ‘Dewa Budha tidak berbeda dan Ciwa, Mahadewa diantara Dewa-dewa, keduanya banyak mengandung unsur; Budha yang mulia adalah kesemestaan, mereka boleh dikatakan tak dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua, Jiwa Jina dan jiwa Ciwa adalah satu, mereka memiliki ciri yang berlainan, tetapi mereka satu, dalam hukum tidak terdapat dualisme’ (JHC Kern & WH Rassers, 1982) Sehubungan dengan syair itu ada deskripsi dan analisis yang menarik tentang ‘fat/dir!’ manusia yang berbeda-beda (tidak sama) satu sama lain dan dikenalkannya faham ‘Tantularisme’ (Sujamto, 1991). Bhineka Tunggal Ika ternyata memilik makna, matra dan perspektif jauh kedepan dalam konteks realitas dan dinamika masyarakat Indonesia yang bhineka. Tantularisme memiliki ‘concepts’dan ‘content’ yang kaya dengan nilai yang dapat diberdayakan untuk memperkukuh persatuan dan kesatuan, pembangunan karakter Bangsa yang memiliki realitas dan jatidiri yang pluralistik. Kedua, nilai-nilai filsafati yang terkandung dalam ungkapan atau sesanti ‘mamayu hayuning bawana’ (Suryo S Negoro, 2001), yang kemudian di kemba ng ka n menjadi ‘mamayu hayuning nusa Ian bangsa ‘mamayu hayuning sasama, dan mamayu hayuning sarira dapat disumbangkan untuk pembangunan karakter Bangsa. Kedudukan manusia di alam semesta dan ditengahtengah masyarakat mengajarkan kita untuk ‘sadar kosmis, memahami dinamika ‘eco system dan pentingnya untuk kembali ke alam (back to nature). Isi dan fenomena alam dalam ajaran ‘mamayu hayuning bawana’, perlu dipelajari agar timbul motivasi untuk mencintai, memperindah dan melestarikan alam. Dalam ajaran ‘mamayu hayuning Nusa Ian Bangsa’ dan ‘mamayu hayuning sasama’ menganjurkan kepada kita untuk mencintai tanah air, Negara dan Bangsa, dan mencintai sesama. Penjabaran terhadap substansi beberapa sesanti tersebut sangat diperlukan dalam rangka pembentukan watak sebagai patriot yang mencintai bumi, tanah air, nusa, bangsa dan Negara Indonesia, serta nilainilai kemanusian yang penuh rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Ketiga, nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan Aja Dumeh. Aja dumeh merupakan ungkapan yang menganjurkan kepada siapapun untuk tidak ‘mentang-mentang ketika sedang menduduki posisi lebih dan aspek kewenangan, kekuasaan, kekayaan dan kepandaian. Ada aspek pengendalian din dalam ungkapan ‘aja dumeh’ agar tidak sewenang-wenang dan tidak menonjolkan kekuasaan (kumawasa). Nilai yang ter-kandung dalam ungkapan itu berkaitan dengan karakter agar lebih rendah hati, andhap asor, Iembah manah dan nguwongake wong baik dalam ucapan maupun tindakannya. Sikap mi penting untuk menjaga suasana dan iklim yang lebih sejuk dalam pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan. Keempat, Nilai-nilai yang terkandung dalam kesusastraan Jawa. Banyak sekali ‘monumen-monumen’ dalam bentuk susastra yang mutunya sangat tinggi dan dikagumi oleh sejumlah ahli dalam berbagai bidang, baik oleh sarjana luar maupun dalam negeri. Naskah Jawa yang berlimpah tersebut masih tersimpan di museum-museum yang ada di 26 negara (Sulastin S Sutrisno, 1981). Dan segi pengelompokan, kesusastraan Jawa tersebut dibagi dalam 4 (empat) babakan yaitu Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, Jawa Baru dan Jawa Modern. Berdasarkan isinya dapat dikelompokkan menjadi kelompok Religi dan Etika, Sejarah dan Mitologi, Sastra Indah, Ilmu Pengetahuan, Seni, Ilmu Sastra, Hukum, Folklore, Adat Kuno dan sebagainya. Dalam mengarungi ‘samudera’ sastra Jawa, untuk mendapatkan berbagai masukan dalam pembangunan karakter Bangsa, antara lain dapat dibaca dan dicermati buku-buku atau tulisan sebagai berikut: (1) Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (Balai Pustaka, 2001); (2) Visi dan Misi Sastra Jawa sebagai Ruh Pembentukan Manusia Indonesia Baru yang Berbudi Pekerti Luhur (Suwardi Endraswara, 2001); (3) Refleksi Nilai Budi Pekerti dalam Naskah-naskah Jawa (Suyami, 2001); (4) Ungkapan Bahasa Jawa yang Memiliki Nilai-nilai Luhur (Edi Suwatno, 2001); (5) Ungkapan Tradisional Sebagai Salah Satu Sikap Masyarakat Jawa yang Mereflesikan Nilai Pendidikan (Sukadaryanto, 2001); (6) Budi Pekerti Luhur di Dalam Serat Panitisastra yang terdapat di Dalam Wulang Dalem Warni-warni (Prapti Rahayu, 2001); (7) Pemahaman Budi Pekerti lewat Pembacaan Teks Berbahasa Jawa Kuno di Bali (I Made Suastika, 2001); Unsur-unsur Ajaran Pimpinan Negara dan Abdi Negara di Dalam Teks-teks Pustakaraja Madya karya R Ng Ranggawarsito: Relevansinya dengan Kepemimpinan Masa Sekarang (Anung Tedjawirawan, 2001) dIl. nya. Mencermati substansi yang terkandung dalam tulisan para pakar tersebut sangat banyak yang dapat dijadikan masukan untuk pebangunan karakter Bangsa. Sementara itu ada tulisan yang sangat menarik untuk diperhatikan yaitu substansi pada salah satu bait dalam Kakawin Ramayana, (I Nyoman Weda Kusuma, 1991) yaitu: ‘ Ndan kita pi sarabharan rangsan sakala jagad / ksatriyawinaya yeka raksan katuturaken / sasana ya gegen tang sastra dwulati lana / sojaring aji tuten yeka mawa kasukan / Dewa kusalalsala mwang dharma ya pahayun / mas ya ta pawhrehdhi byaya ring hayu kekesan / bhukti sakaharep tadwehing bala kasukan / dharma kalwan artha mwang kama ta ngaranika // Artinya : Jadikan dirimu tenaga pendorong dalam kehidupan rakyat (negara) / ingatlah selalu dan junjung tinggi sumpah seorang ksatria / jadikan ajaran dalam pustaka suci sebagai pedoman / ikutilah petunjuk yang suci itu karena akan membawa kebahagiaan / perbaikilah tempat-tempat suci (ibadah) dan sosial lainnya / pendapatan negara harus ditingkatkan dan belanja negara diperketat / hendaknya kehidupan di istana dan masyarakat sama-sama bahagia / kehidupan demikian sesuai dengan ajaran dharma, artha, dan kama // Dari arti dan makna pada bait-bait Kakawin Ramayana tersebut, sungguh sangat signifikan dengan realitas, kondisi dan situasi sekarang ini. Etika kepemimpinan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh para pemimpin (termasuk elite politik) dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah: (1) menjunjung tinggi sumpah jabatan; (2) berpedoman pada ajaran pustaka suci; (3) adil, jujur dan bijaksana; (4) berperilaku yang baik (5) melakukan usaha meningkatkan pendapatan; (6) berorientasi pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, (7) memperketat pe-ngeluaran belanja; (8) membangun tempat ibadah dan sarana sosial yang lain (termasuk pendidikan, kesehatan); (9) mensejahterakan kehidupan rakyat sesuai dengan ajaran ‘ dharma, artha dan kama ’ . Ajaran lain yang penting dalam Kakawin Ramayana adalah Asta Brata, laku atau brata yang meliputi : ‘ Indra brata, Yama brata, Surya brata, Candra brata, Bayu brata, Danaba brata, Pasa brata, dan Bahni brata ’ . Atau laku hambeging: ‘ kisma, tirta, samirana, samodra, candra, baskara, dahana, lan kartika ’ . Esensi ajaran tentang watak, perilaku dan karakter yang terkandung dalam ‘ Asta Brata ’ tersebut adalah: pengasih, penyayang, asih ing sesami, adil paramarta, sabar dan ‘ momong, momor, momot ’ , memberi pepadhang kepada semua, memberi daya kekuatan, memerangi angkara murka, memiliki keteguhan dan kesentosaan. Di lingkungan TNI juga telah menyerap ajaran atau ungkapan Jawa dengan menetapkan 11 (sebelas) azas kepemimpinan TNI , yaitu meliputi : ‘ Taqwa, Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, Waspada Purba Wisesa, Ambeg Paramarta, Prasaja, Satya, Gemi Nastiti, Belaka dan Legawa ’ . (MABES TNI, 1980). Selain itu juga ada ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan sebagai berikut: ‘(1) Ng/urug tanpa Ba/a, Menang tanpa ngasorake, Digdaya tanpa Aji, Sugili tanpa Bandha; (2) Ng/urug tanpa Ba/a, tanpa gaman, ambedhah tanpa perang, tanpa pedhang,; Menang tanpa mejahi, tanpa nyakiti, Wenang tanpa ngrusak ayu, tan ngrusak adi/; yen unggu/ sujud bekti marang sasami; (3) Le/adi sasamining dumadi, Mamayu hayuning Sasami, Le/adi sasamining Limat, Mamayu Hayuning Jagad, ngawu/a dhateng Kawu/an!ng Gusti, Mamayu Hayuning Urip ’ (RMP Sosrokartono, 1977) Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran RMP Sosrokartono tersebut mengandung nilai sebagai landasan sikap, wal:ak dan karakter pribadi, dan landasan diplomasi untuk Iebih mengedepankan ‘win win solution’ Dalam kaitannya dengan watak dan perilaku untuk menepati dan menjunjung tinggi supremasi hukum, banyak sekali ungkapan Jawa yang dapat dikaji sebagai bahan masukan untuk pembangunan karakter Bangsa, antara lain nilainilai yang terkandung dalam ‘(1) Prasetya, Sumpah, Wewa/er, Paugeran, Angger-angger (2) Desa mawa cara, Negara mawa Tata, Sing Sapa sa/ah Se/eh’ dll. nya yang dapat menuntun perilaku dan watak untuk teguh memegang sumpah/janji dan mematuhi hukum. Sementara itu Badan Pengkajian Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 1987, telah melakukan kajian dan transliterasi naskah-naskah yang memiliki nilai-nilai sebagai berikut: 1. Nilai-nilai kejuangan sebagaimana terdapat dalam Serat Sewaka, Serat Wirawiyata, Serat Panitipraja, Serat Sasana Prabu, Serat Piwu/ang Becik, Serat Margawireja, Serat Wedhawara, Serat Wu/ang Da/em Paku Buwana II; 2. Nilai hidup kekeluargaan sebagaimana terdapat dalam Serat Wulang Reh Putri, Serat panitibaya, Serat Dharmawasita, dan Serat Yajnasuslla; 3. Nilai kemandirian Wanita sebagaimana terdapat dalam Serat Nitimani, Serat Rajabrana, dan Serat Warayagnya; Kelima, dalam pewayangan dan pedalangan banyak sekali nilai-nilai, ajaran, dan wulangan yang perlu dikaji sebagai bahan masukan pembangunan karakter Bangsa. Oleh Unesco-PBB, wayang telah dikukuhkan sebagai sebagai ‘Masterpiece of Oral and Intangibel Heritage of Humanitj/’ (Ka rya-karya Ag u ng Lisan Tak Benda Wa-risan Manusia). Penetapan Unesco antara lain didasarkan pada: ‘(1) nilai-nilai yang terkandung dalam wayang; (2) wayang telah berakar dalam tradisi dan sejarah budaya masyarakat; (3) Wayang telah berperan sebagai sarana pernyataan jatidiri bangsa atau suku; (4) wayang berfungsi sebagai sumber inspirasi pertukaran budaya; (5) kegunaan dalam penerapan ketrampilan dan sifat teknis yang diper-lihatkan’. Dalam wayang antara lain dilukiskan gambaran atau citra Raja yang ideal, Ksatria yang ideal, Pandhita yang ideal, Kawula yang ideal, untuk selalu melaksanakan dharma-dharmanya, tugas dan kewajibannya dalam kehidupan. Ada 20 (dua puluh) nilai-nilai etis yang terkandung dalam wayang (Hazim Amir, 1991), yaitu meliputi nilai-nilai: ‘Kesempurnaan sejatI, Kesatuan sejatI, Kebenaran sejatI, Kesudan sejatI, Keadilan sejatI, Keagungan sejatI, Kemercusuaran sejatI, Keabadian sejatI, Keteraturan Makrokosmos sejatI, Keteraturan Mikrokosmos sejatI, Keb/aksanaan sejatI, Pengetahuan sejati. Kesadaran dan Keyakínan sejatI, Kekasihsayangan sejatI, Ketanggungjawaban sejatI, Kehendak, Niat dan Tekad sejatI, Keberanian, Semangat dan Pengabdian sejatI, Kekuatan sejatI, Kekuasaan dan Kemerdekaan sejatI, dan Kebahagiaan sejati’ Dalam pewayangan ada pandangan menarik yang perlu diperhatikan yaitu fungsinya sebagai refleksi keaneka-ragaman kehidupan, moralitas dan karakter manusia. Melalui wayang dapat dibaca karak-ter masing-masing. ‘Pluralitas moral’ digambarkan dalam tokoh-tokoh wayang yang dipergelarkan dalam pentas wayang (Benedict ROG Anderson, 1965) Wayang sebagai representasi ‘karakter manusia’ yang menjadi lakon wayang (Sri Mulyana, 1981) tidak dapat dipisahkan dengan peran Dalang yang harus mumpuni atau lebda ing kawruh, ngelmu, pangawikan, lelungidan, filsafat, etika dan moral. Oleh karena itu Dalang menempati posisi yang sangat strategis sebagai ‘agent’untuk menanamkan dan menginternalisasikan nilai-nilai etika dan moral. Dalang merupakan ‘aset dan modal sosial’ yang dapat didayagunakan dalam rangka pembangunan karakter Bangsa. Keenam, cerita-cerita binatang sebagai wahana pendidikan moral. Cerita binatang merupakan cerita yang pelaku-pelakunya terdiri dan binatangbinatang yang berpikir dan berperilaku seperti manusia. Persoalan yang diceritakan merupakan persoalan yang hidup di lingkungan manusia, sehingga pendengar cerita binatang dapat merasakan seakan-akan cerita itu dunianya. Di lingkungan masyarakat Jawa ada sumber cerita-cerita binatang yaitu ‘Jataka, Pancatantra, Tantri Kamandaka, Dongeng Sato Kewan, Serat kancil Van Dorp, Serat Kandil Salokadarma, Serat Kandil Amongsastra, Serat Kan cii Natarata’ (Asdi S Dipodjojo, 1966). Banyak sekali ajaran, wulangan, nasehat dan humor yang memiliki nilai-nilai pembentukan moralitas, watak dan karakter anak, antara lain: (1) balas budi; (2) kecerdikan; (3) kelucuan dan sindiran; (4) kerukunan dan persatuan yang dapat mengalahkan kesewenangan; (5) merugi karena perbuatan yang tidak baik; (6) jangan mengharap sesuatu yang tidak mungkin; (7) jangan menasehati yang tak mau dinasehati; dIl. Dalam cerita-cerita tentang binatang ada yang menggelitik dan menarik perhatian yaitu ringkasan atau esensi cerita yang diungkapkan dengan kata Wding dongeng’yang banyak mengandung pesan dan ajaran moral pada anakanak. Ketujuh, ‘Babad’ sebagai salah satu jenis sastra Jawa memiliki nilai-nilai yang perlu diinventarisasi, dikaji, dan disumbangkan dalam pembangunan karakter Bangsa. Isi babad selalu mengandung unsur cerita dan pengabdian mengenai Raja atau tokoh lainnya. Isi babad berkisar pada cerita sejarah sehingga sering bersumber pada bahan-bahan kesejarahan baik tulis maupun lisan. Dalam babad ada ragam gubahan gancar dan tembang yang sangat menarik untuk dibaca. Dalam penulisannya sering berisi riwayat Raja dan kerabat istana, meliputi peristiwa penting mengenai upacara kelahiran, perkawinan, penobatan, perjalanan, pengabdian, kematian, ramalan dan hal-hal yang bersifat kerohanian. (Darusuprapta, 1985). Selain itu babad sering melukiskan tampilnya ‘tokoh’ yang kemudian melegenda di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Citra kepahlawanan seorang tokoh dapat menebarkan nilai-nilai kepemimpinan dan keteladanan yang bermanfaat untuk pembangunan karakter bangsa. Banyak sekali babad yang mempunyai art/dan ni/al yang bersifat unik, antara lain: Babad Tanah Jawi, Babad Mataram, Babad Kartasura, Babad Mantaw/s Ngayogyakarta, Babad Panambangan, Babad Mangku-nagaran, Babad Mangkubumen, Babad Giyanti, Babad Semarang, Babad Kebumen, Babad Arumbinang, Babad Diponegoro dan lain-lainnya. Kedelapan, peninggalan sejarah dan purbakala sebagai ‘monumen’ budaya Jawa merupakan sumber belajar untuk pembangunan karakter Bangsa. Dalam perkembangan selama tujuh abad banyak sekali situs budaya yang sangat tinggi nilainya sehingga sampai sekarang dapat kita nikmati, antara lain: Candi Dieng, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Gedongsongo, dan lain-lain. Selain itu masih banyak peninggalan purbakala berupa bangunan seperti Masjid, Makam, Gereja, Klenteng, Benteng, Museum dan Karaton. Peninggalan sejarah kepurbakalaan merupakan bukti autentik yang memiliki nilai-nilai filosofis, spiritual, keagamaan, dan kesejarahan. Disamping merupakan aset wisata budaya atau wisata spiritual, peninggalan sejarah purbakala meru-pakan sumber belajar yang dapat menjadi wahana untuk pembangunan watak, kepribadian dan karakter bangsa. Kesembilan, Macapatan dan Lagu Dolanan Jawa sebagai media untuk pembangunan karakter bangsa. Macapatan merupakan pergelaran melagukan syair macapat atau puisi tradisional. Pada awalnya macapatan dilakukan pada acara fagong bayen, midadaren4 neptonan atau ulang tahun,, syukuran dan lainIainnya. Dewasa mi macapat untuk Iebih memahami naskah sastra Jawa; dan sering dilanjutkan dengan sarasehan. Selamn itu macapatan ditemukan dalam berbagai pentas seni seperti Kethoprak, Wayang Wang, Wayang Kulit, dan Langen Mandraswara. Tembang macapat diidentifikasi 15 pupuh atau metrum, (Sastra Jawa, 2001), yaitu sebagai berikut: ‘Kinanth4 Pucung, Asmaradana, Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Dhandhanggu/a, Durma, Gambuh, Megatruh, Ba/abak, Wirangrong, Jurudemung, dan Girisa Dalam pergelaran macapatan sering diiringi dengan instrumen game/an baik slendro maupun pe/og sehingga menghadirkan suasana yang indah, nyaman, dan enak didengar. Selain keindahan dalam seni suara, macapat memiliki nilainilai yang ada di dalam syairnya. Selain macapat juga ada Lagu Do/anan Jawa ( Slamet Rahardjo, 2002) yang berfungsi sebagai media penyampaian pesan-pesan tertentu kepada masyarakat pendengarnya, antara lain tentang budi pekerti, permainan anak, pengenalan lingkungan alam sekitar maupun sebagai hiburan. Oleh karena itu Lagu Dolanan Jawa memiliki potensi untuk meningkatkan daya pikir, kreativitas, imajinasi, keceriaan, dan kesehatan. Catatan Akhir Pembangunan Negara Bangsa sebagai ‘proses budaya’ akan terus berlangsung dan akan mengalami penyempurnaan dalam dimensi strategi maupun implementasinya. Dengan munculnya bias-bias yang terjadi diperlukan reorientasi dalam pendekatan dan strateginya. Prioritas pembangunan yang menekankan bidang ekonomi perlu lebih diimbangi dengan pembangunan bidang sosial budaya. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perspektif ke depan pendekatan yang lebih: ‘human resources basecf’ perlu dikembangkan. Pembangunan watak dan karakter perlu lebih diprioritaskan. Dalam kaitan dengan hal-hal diatas, strategi ‘Pembangunan Karakter Bangsa’ menjadi penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang lebih berbudaya dan bermartabat. Dengan semakin derasnya penetrasi budaya asing melalui media cetak dan elektron i ka, fenomena kapitalisasi, materia/isasi, dehumanisasi, demora/isasi, dan lain-lainnya sudah waktunya digagas dan dirumuskan kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa dalam dimensi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendidikan Ilmu-ilmu humaniora dan atau ilmu-ilmu budaya menempati posisi strategis dalam proses pembangunan karakter bangsa mi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan perlu diarahkan pada pembentukan dan penguatan fondasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat agar memiliki ketahanan budaya. Dalam menghadapi ‘hegemoni budaya’ yang ditayangkan lewat media cetak dan elektronika diperlukan kondisi budaya yang tangguh menghadapi tantangan. Untuk itu diperlukan pendayagunaan seluruh ‘potensi budaya’ yang ada. ‘Bahasa jawa, budaya Jawa, jagad Jawa’ memiliki potensi yang dapat diberdayakan. Nilai-nilai yang ada di dalamnya perlu direintrepretasi dan direkontekstualisasi untuk disumbangkan dalam rangka pembangunan karakter Bangsa. Nilai-nilai yang akan diinternalisasikan perlu dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa yang tepat. Dalam rangka mi diperlukan agent pembangunan watak dan karakter, yang terdiri dan: orang tua, guru, pendidik, pemimpin atau tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, para pakar, cendekiawan, budayawan, seniman, dalang, para wartawan dan insan pers, dan lain sebagainya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Pemahaman terhadap substansi atau ‘bahan ajar’ tentang pendidikan karakter perlu dipahami, diketahui, dan dikuasai. Lingkungan keluarga, sekolahsekolah, masyarakat maupun media massa baik media cetak maupun media eletronika perlu didayagunakan sebagai medan pembelajaran pendidikan karakter bangsa. Sumber belajar dan bahan ajar tidak selalu dan Jawa karena budaya etnis lain juga memiliki potensi untuk diberdayakan, termasuk potensi budaya dan mancanegara.
Ki Sutadi Daftar Kepustakaan
- Amir, Hazim, Dr MA, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Sinar Harapan,1991, Jakarta.
- Amin Zein, Muhammad, Indonesia di Persimpangan jalan: Reformasi dan Re konstruksi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, artikel, 1999, Jakarta.
- Anderson, ROG Benedict, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Qalam, 2000, Yogyakarta.
- Anung Tedjawirawan, Unsur-unsur Ajaran Pimpinan Negara dan Abdi Negara di Dalam Teks-teks Pustakaraja Madya Karya RNg Ranggawarsita Relevansinya dengan Kepemimpinan Masa Sekarang, makalah KBJ III, 2001 Yogyakarta.
- Asdi S Dipodjojo, Sang kancil Tokoh Cerita Binatang Indonesia, Gunung Agung 1966, Jakarta.
- A Sewaka, Kompas, 22 Agustus 1991.
- Badan Pengkajian Kebudayaan, Pengkajian Sastra Jawa, 1987, Semarang.
- Basri, Faisal, Dr, Tinjauan Ekonomi Politik Krisis Ekonomi, artikel, 1998, Jakarta.
- Darusuprapta, Prof, Dr, Arti dan Nilai Babad dalam Kebudayaan Jawa, Javanologi, 1985, Yogyakarta.
- Danuwinata, Fx, Dimensi-dimensi Etis dalam Pembangunan, artikel, 1986, Jakarta.
- Edi Sedyawati, Prof, Dr, dkk, Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka, 1999, Jakarta.
- Endraswara, Suwardi, Visi dan Misi Sastra Jawa: Sebagai Ruh Pembentukan Manusia Indonesia Baru yang Berbudipekerti Luhur, makalah KBJ III, 2001, Yogyakarta.
- Hardjono, Prof Mr, Tradisi Sosial, Fisipol 1965, Yogyakarta.
- Ivan Illicch, Bebas Dan Sekolah, Sinar Harapan, 1984, Jakarta;
- Iman Santosa, Slamet, Prof Dr, Pendidikan Watak dan Akhlak, Kompas, 16 September 1993.
- Kartodirjo, Sartono, Prof Dr, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah, Gajah Mada University Press, 1985, Yogyakarta.
- Koentjaraningrat, Prof Dr, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, 1984, Jakarta.
- Kern, JHC, Rassers WH, Civa dan Budha, Jambatan 1982, Jakarta.
- Mabes TNI, Vadamecum, Seskoad, 1980, Bandung.
- Mangunhardjana, A, Isme-isme dan A Sampai Z, Kanisius, 1996,Yogyakarta.
- Moeljarto, Prof, Dr, Alternatif Perencanaan Sosial Budaya menuju Terwujudnya Manusia Indonesia Seutuhnya, Fisipol UGM, 1985, Yogya ka rta.
- Prapti rahayu, Budi Pekerti Luhur di Dalam serat Panitisastra yang Terdapat di Dalam Wulang Dalem Warni-warni, makalah KBJ II, 1991, Yogyakarta.
- Raharja, Slamet, Drs, Lagu Dolanan Jawa, PD I PGRI, Jawa Tengah, 2001, Semarang.
- Rais, Amin, Prof Dr, Pilihan dalam mengatasi Krisis: Status Quo atau Reformasi, artikel, 1999, Jakarta.
- Riberu, J, Dr, Mencari Pedoman Etika Pembangunan Nasional, artikel, 1986, Jakarta.
- Sujamto, Ir, Refleksi Budaya Jawa, Dahara Prize, 1992, Semarang.
- Suryo Negoro, Kejawen Membangun Hidup Mapan Lahir dan Batin, Buana Raya, 2001.
- Sosrokartono, RMP, Kumpulan Renungan Rabu Pahing, 1977, Bandung.
- Sri Mulyana, Ir , Wayang dan Kharakter Manusia, Gunung Agung, Jakarta
- Suastika, I Made, Pemahaman Budi Pekerti Lewat Pembacaan Teks Berbahasa Jawa Kuna di Bali, makalah KBJ III, 2001, Yogyakarta.
- Sukadaryanto, Ungkapan Tradisional Sebagai Salah Satu Sikap Masyarakat Jawa Yang Merefleksikan Nilai Pendidikan, makalah KBJ III, 2001, Yogyakarta.
- Sutrisno, Muji, Dr, Kompas, 22 Agustus 1991.
- Suyami, Refleksi Nilai Budi Pekerti Dalam Naskah-naskah Jawa, makalah KBJ III, 2001, Yogyakarta.
- Suseno, Franz Magnis, Perspektif Etis Pembangunan, artikel, 1986, Jakarta.
- Tilaar, HAR, Prof Dr, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, Indonesia Tera, 1999, Magelang.
- Tuty Herati, Dr, Mencari Kriteria Penilaian Etis dalam Pembangunan Indonesia, artikel, 1986, Jakarta.
- Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Aneka Ilmu, 2003, Semarang.
- Wedhakusuma, I Nyoman, Etika Kepemimpinan dalam Sastra Jawa Kuno, makalah KBJ III, 2001, Yogyakarta.
- Yatmana, Sudi, Dr, Mbah Setra, Blencong 45, Aneka Ilmu 2005, Semarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H