Lihat ke Halaman Asli

Diary Perempuan Pejuang Energi

Diperbarui: 19 Juni 2024   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan adalah pejuang energi (Sumber: Roman Kogomachenko di Pixabay)

Perempuan adalah pengguna energi terbanyak. Tugas dasar rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, dan menemani anak belajar ketika malam hari seringkali dibebankan kepada perempuan akibat relasi kuasa yang tak seimbang. Sedangkan, para lelaki hanya mengambil peranan finansial dan teknis, seperti bekerja, memperbaiki rumah, dan membeli maupun menjual aset.

Pada 2021, tercatat bahwa setengah juta rumah tangga Indonesia hidup tanpa listrik. Bisa dibayangkan, kaum ibu dan anak lah yang paling terdampak. Ibu yang tak memiliki akses pada listrik dan peralatan elekronik menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Kehilangan waktu yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk istirahat, bersosialisasi, menemani anak atau bahkan mengembangkan diri. Berusaha berdamai dengan keadaan, tetapi lampu minyak yang menerangi anak-anak mereka saat belajar membuat mata perih karena asap buangannya naik ke atas.

Meski menjadi barisan yang paling merana imbas kealpaan energi, nyatanya dari perempuan jugalah transisi energi bersih bisa diakselerasi. Saya mengenal beberapa perempuan yang berinovasi, membangun instalasi EBT, atau bahkan menjadi pengguna setia EBT (Energi Baru Terbarukan) yang telah memanen manisnya peradaban. Saya memanggil mereka pejuang energi dan inilah kisah mereka!

Thomas Alva Edison Wanita Indonesia

Dialah Prof. Camellia Panatarani, seorang dosen fisika, penjelajah alam, dan Thomas Alfa Edison edisi perempuan yang bermukim di kota kembang.

Bu Camel, begitu sapaannya, ialah juga dosen pembimbing saat saya tergabung dalam riset grup di lab nano PRINT-G (sekarang bernama FiNder U-CoE) yang ia kelola.

Saya (kerudung merah jambu) bersama kawan-kawan di depan lab PRINT-G (dokpri)

"Ra, tau gak lampu di sini belum pernah diganti," ujar Teh Hera, laboran di tempat saya meriset, sembari menunjuk bohlam di ruangan uji FTIR yang kami sambangi saban hari.

"Kok bisa teh?" tanya saya balik.

"Iya, ini buatan ibu (Bu Camel). Pakai fosfor dia," imbuh Teh Hera.

Jika lampu LED biasa mampu menerangi hingga 20.000 jam (sekitar 2 tahunan), maka lampu buatan Bu Camel memiliki umur pakai yang lebih panjang. Setidaknya, saat saya berbincang dengan Teh Hera, lampu di ruangan tersebut telah menyinari selama kurun 4 tahun ke belakang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline