Lihat ke Halaman Asli

Azhar Aufa

Psikologi

Sabar Tanpa Batas

Diperbarui: 27 Juni 2022   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hei Watu Kali, sini! Ngopi!" teriak seorang lelaki yang sedang duduk bersantai di pelataran gazebo bersama rekan-rekannya. Sontak ketika lelaki itu menyebut "Watu Kali" manusia-manusia di sebelahnya cekikikan mengejek.

Laki-laki yang dipanggil "Watu Kali" berperawakan gempal nan hitam legam itu menoleh, tersenyum kecut. Kemudian melangkah mendekat ke segerombol orang itu. Ia sudah terbiasa dihina dan dicela oleh teman-temanya karena "warna" kulitnya. Terlebih lagi rambutnya botak plontos membikin seseorang yang melihatnya ingin tergelak.

 

"Mau ke mana? Mutar-muter saja kau ini. Lungguh kene." Lelaki itu menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Pantatmu ada durinya? Heh?"

 

Watu Kali tertawa getir, menyesap kopi, menyambar rokok lantas menyalakan korek api, "Tidak ke mana-mana, hanya ingin jalan-jalan." Ia duduk di sebelah lelaki itu. Lalu mencopot songkok hitam yang dikenakannya.

 

"Pffftt...." Seketika orang-orang menutup mulutnya---menahan tawa---tak kuat melihat kepala Watu Kali tatkaka sinar mentari siang menyiram. Cling---bagai ada bintang yang berpendar-pendar mengerubuti.

 

Watu Kali---bernama asli Alfaina---meladeni seloroh rekannya itu, malah menggosok-gosok botaknya. Terkekeh kecil. Seakan-akan hatinya terbuat dari baja dan telinganya terbuat dari dinding kedap suara---tahan cemoohan.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline