Leicester City tahun lalu sempat membuat kacau pasar taruhan mereka berhasil membalikan semua prediksi dengan tampil menjadi menjuarai Liga Primer musim 2015/2016. Sekarang pasukan Claudio Ranieri ini sepertinya kembali akan menbuat kacau pasar taruhan namun saat ini terjadi di Liga sepakbola eropa 'Champions'. Padahal sebelumnya mereka juga diprediksi tidak akan bertahan lama ketika mereka mengadu peruntungannya di kancah pertarungan klub-klub terbaik Eropa ini.
Ya, perjalanan Leicester City di Liga Champions kali ini sepertinya memang agak sedikit di luar perkiraan. The Foxes tanpa diduga mampu membabat semua lawan-lawanya di babak penyisihan Grup G. Hasil ini berbanding terbalik dengan apa yang dihasilkan Jamie Vardy dkk yang tampil terseok-seok di kompetisi liga domestiknya, hal sebaliknya terjadi di kancah sepakbola Eropa atau Liga Champions. mereka mampu mematahkan prediksi semua orang .
Kalau dilihat kebelakang sebetulnya keberuntungan Leicester ini sudah terlihat sejak penentuan hasil drawing. Mereka beruntung terhindar dari lawan berat. Pasukan Rubah ini hanya bersaing dengan klub Copenhagen (Denmark), Porto (Portugal) dan Club Brugge (Belgia). Hal itu menjadi terbukti ketiganya berhasil mereka kalahkan. Menang 3-0 atas Brugge pada laga pertama. Lalu melumat Porto 1-0, dan yang terakhir mengalahkan Copenhagen 1-0. Hasil itu tentu membuat The Foxes berhasil duduk manis di puncak klasemen sementara dengan meraih 9 poin, dengan demikian mereka hanya perlu satu hasil positif lagi saja untuk dapat memastikan melaju ke fase selanjutnya. Tentu ini menjadi sebuah catatan yang luar biasa bagi The foxes.
Keberhasian Leicester di ajang Champions ini membuat mereka menjadi tim kelima yang bisa merebut tiga kemenangan beruntun saat melakuan debutnya di Liga Champions. Leicester juga tercatat menjadi tim ketiga yang mampu mencatat clean sheet dari tiga laga pertamanya di Eropa. Kalau melihat pencapaian yang posisitf ini wajar jika mereka berharap akan dapat meraih hasil sesuai yang diinginkannya. Bukan tidak mungkin mereka akan dapat melaju hingga semifinal atau malah mungkin sampai ke babak final?. Ingat mereka pernah melakukan sesuatu yang dianggap mustahil kala menjuarai Liga Premier Inggris 2016-2016 lalu..
Penampilan Leicester di Liga Champions ini memang berbanding terbalik dengan apa yang merka tampilkan di liga domestik Premier League musim 2016-2017 ini. The Foxes yang berstatus sebagai juara bertahan ini hanya baru mampu meraih 8 poin dari delapan laga yang sudah dijalaninya, mereka terlempar di posisi ke 13 klasemen sementara. Hasil ini sekaligu menjadikan mereka berpredikat sebagai juara bertahan Premier League yang terburuk sejak Blackburn Rovers 1995-1996.
Sebaliknya kalau melihat penampilanya di Liga Champions Leicester justru tampil impresif, mengumpulkan sembilan poin dari tiga pertandingan. Berbagai rekor yang diciptakannya seperti menjadi klub Inggris pertama yang meraih tiga kemenangan pada pertandingan awal di Liga Champions. Memimpin di peringkat pertama klasemen sementara Grup, dan terakhir belum pernah kebobolan. Seperti yang dikatakan sang Kapten Wes Morgan, "Penampilan kami layaknya seperti musim lalu. Leicester menunjukkan semangat juang yang mengantar kami meraih sukses. Leicester bermain bagus, tetapi semangat para pemain-lah yang menentukan hasilnya," kata Morgan.
Pertanyaannya besarnya tentu mengapa Leicester tak berdaya alias melempem di delapan laga awal kompetisi Liga Premier Inggris 2016/2017 ini? Sementara sebaliknya mereka bisa tampil superior di kompetisi terbesar antara kesebelasan Eropa? Mungkin yang bisa menjadi jawabanya adalah, taktik atau strategi bermain Leicester yang sudah terbaca oleh tim-tim khusunya di Liga Primer Inggris. Hal itu terbukti ketika mereka dikalahkan Manchester United dengan skor telak 4-1 pada 24 September lalu. Padahal, beberapa hari sebelumnya 15/9 di Liga Champions mereka berhasil menang di partai tandangnya melawan Club Brugge dengan skor telak juga 3-0.
Dengan demikian tentu bisa diasumsikan faktor mereka berhasil mengalahkan Brugge, adalah karena memang gaya permainan mereka yang masih mengandalkan pertahanan kokoh, serangan balik melalui lini sayapnya itu yang membuat mereka berhasil. Sementara Brugge jelas jarang bertemu secara intens dengan ana asuhan Reineri ini. Berbeda dengan Manchester United yang memang sudah hafal betul dengan gaya permainan pasukan Rubah ini karena memang mereka sering bertemu. Apalagi seperti diketahui gaya permainan Leicester pada musim ini ternyata juga tidak terlalu banyak berbeda dengan musim lalu.
Perbedaan yang terlihat hanya ketika serangan mereka sudah masuk ke sepertiga daerah akhir lawan. Leicester tampaknya lebih cenderung mengirimkan umpan silang lambung ke kotak penalti lawan. Sementara ketika awal serangan, mereka masih tetap mengandalkan kecepatan pemain sayapnya. Hal itu mungkin dilakukan Reineri karena ia ingin memanfaatkan kemampuan pemainya dalam duel udara. Terbukti dua golnya di Liga Primer Inggris 2016/2017 pun melalui proses duel udara.
Disamping itu harus diakui juga ada memang banyak faktor yang membuat Leicester bisa dikatakan hampir pasti atau bisa dikatakan mustahil dapat pertahankan gelar pada musim ini. Salah satunya adalah kembalinya gairah klub papan atas yang memang mempunyai sejarah panjang di kompetisi liga.
Bangkitnya tim-tim elit di liga EPL ini bisa dilihat dari apa yang terjadi dengan Chelsea, Manchester United, dan Manchester City yang tahun lalu mereka termasuk sederet tim besar yang gagal mengalahkan Leicester City di ajang kompetisi liga, Bahkan klub sekelas Mencheter city sempat mereka permalukan dengan kalah telak 1-3 di hadapan pendukungnya sendiri.