[caption caption="Ilustrasi: goal.com"][/caption]Menjelang genap setahun pembekuan PSSI oleh Kemenpora, harapan agar sepakbola Indonesia akan membaik memang masih belum bisa terwujudkan sepenuhnya, namun usaha untuk itu sudah dilakukan pemerintah. Hanya saja sepertinya usaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat berjalan mulus dan mendapat dukungan penuh dari pelaku sepakbola itu sendiri seperti dari PSSI maupun dari anggotanya yang memang sepertinya sudah terlanjur ber syak wasangka atau berprasangka buruk atas apa yang dilakukan pemerintah dengan tatakelola sepakbola.
Sekedar mereview kebelakang, asal muaasal atau penyebab dari semua ini tak lain dari sikap membandelnya PSSI yang tidak mau mematuhi ‘surat peringatan’ yang dilayangkan Kemenpora berkaitan dengan tetap dimainkanya dua klub bermasalah, Arema Cronus dan Persebaya Surabaya, yang memang sudah nyata-nyata jelas tidak lolos verivikasi yang dilakukan oleh BOPI, konsekuensi dari tidak lolos verifikasi tentu mereka tidak mendapatkan rekomendasi untuk dapat mengikuti kompetisi Indonesia Super League (ISL).
Tapi yang terjadi kemudian adalah PSSI mengambil tetap memainkanya dan setelah diperingatkan (SP) dari Kemnpora. PSSI malah lebih memilih menghentikan kompetisis Liga dengan alasan atau dalih dalam kondisi ‘force majeur’. Sementara Kemenpora waktu itu meminta kompetisi silahkan tetap berlangsung tapi tetap tampa kehadiran kedua klub tersebut namun PT Liga menolak dengan alasan ‘hanya’ mau berafiliasi kepada PSSI.
Akhirnya FIFA pun turut campur karena mengangap adanya keterlibatan pemerintah (yang konon katanya semua itu bersumber dari PSSI yang melaporkan intervensi pemerintah kepada FIFA). tentu jelas hal itu dianggap sebagai salah satu bentuk yang memang diharamkan oleh FIFA. oleh karena itu per tanggal 30 Mei 2015 FIFA secara resmi menjatuhkan sanksi pada Indoensia dan sejak saat itulah sepakbola Indonesia terkucilkan dari dunia internasional.
Menyikapi langkah pembekuan yang sudah dilakukan pemerintah tersebut, Kemenpora menunjuk beberapa tim untuk membuat langkah-langkah strategis guna perbaikan ‘tata kelola’ sepakbola nasional. Adapun Tim yang pertama dibentuk adalah Tim Sembilan, yang tugasnya hanya memberi rekomendasi untuk pemerintah. Setelah itu dibentuk namanya Tim Transisi pada 8 Mei 2015, yang akan bertugas menjalankan fungsi federasi sebelum digelarnya KLB yang baru.
Di awal pembentukannya, tentu keduanya menjadi harapan besar bagi masyarakat pecinta bola di negri ini, namun dalam perjalannanya harus diakui bahwa mereka menemui barbagai kesulitan den kendala. akhirnya kita bisa melihat sendiri dimana menjelang setahun pembekuan terhadap PSSI, tidak ada perubahan yang signifikan pada kondisi persepakbolaan nasional. Kompetisi reguler yang diharapkan muncul setelah dihentikannya Liga oleh PSSI belum juga terwujud. Untuk mengisi kekosongan kompetisi tersebut kegiatan sepakbola diisi dengan turnamen-turnamen hingga kompetisi siap kembali digelar.
[caption caption="Sumber gambar: tribunnews.com"]
[/caption]Yang pertama digelar adalah Piala Kemerdekaan. Berikutnya dilanjut dengan Piala Jenderal Sudirman, Piala GubernurKaltim, dan terakhir sampai Piala Bhayangkara. Di tengah gegap gempitanya pelaksanaan turnamen-turnamen tersebut Tim Transisi terkesan semakin tengelam. Yang menyedihkan lagi adalah alasan kenapa itu sampai terjadi karena memang mereka tidak memiliki kekuatan dan wewenang yang cukup untuk menjalankan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Mungkin hal ini secara khusus harus menjadi perhatian Pemerintah/Kemenpora untuk kedepannya guna tetap dapat mewujudkan reformasi tata kelola sepakbola.
Padahal diawal berdirinya Tim Transisi tersebut, sebetulnya dibebani empat tugas utamayaitu masing-masing (1) menggantikan peran PSSI yang telah dibekukan, (2) memastikan pengiriman tim nasional Indonesia berjalan di sejumlah event, (3) memastikan kompetisi berjalan, dan (4) memfasilitasi pembentukan PSSI baru melalui mekanisme FIFA. Namun dalam perjalanannya gaung tim transisi perlahan menghilang kecuali dalam soal pemberian rekomedasi untuk turnamen-turnamen tersebut, selain dari itu tidak banyak pemberitaan soal aktivitas yang mereka lakukan.
Dan yang mengagetkan lagi adalah seperti yang baru-baru ini diberitakan, dimana dikatakan mereka mengatakan tidak punya kewenangan untuk mengeksekusi konsep-konsep yang sudah mereka buat, belum lagi dalam menghadapi resistensi atau perlawanan dari kelompok-kelompok (Statusquo) yang memang menguasai sepakbola Indonesia. Inilah yang sesunguhnya menjadi persoalan pokok yang sedang mereka hadapi, sehingga mereka menjadi terlihat tak berdaya.
Seperti yang disampaikan salah satu angota dari tim transisis Chepy T Wartono."Yang jelas kami sudah menyiapkan berbagai hal untuk blue print sepakbola nasional. Terus bagaimana penataannnya, kemudian titik-titik persoalannya, kemudian langkah-langkah apa yang harus diambil. Karena di dalam menghadapi kelompok-kelompok yang menguasai sepakbola ini harus ada ketegasan dari pemerintah. Kami hanya pelaksana saja, kami ditugaskan, kami sudah siapkan dan kami sudah susun semuanya, tapi kami bukan eksekutor. Yang sudah (dikonsepkan) kami serahkan kepada Menpora untuk ditindaklanjuti. Untuk kemudian sampai pada rencana kompetisi harus seperti apa, dimulai seperti apa,"DISINI
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah terkait keluhan yang disampaikan bahwa bukan saja mereka sekedar tidak memiliki wewenang untuk mengambil langkah-langkah strategis, dari segi dana pun mereka sangat terbatas. "Tetapi persoalannya itu kan ada di kebijakan ya. Kami menghadapi kesulitan karena posisi tim transisi yang ...kita ini disuruh perang, tapi tidak dikasih bambu runcing. Boro-boro peluru, senjatanya saja tidak ada. Padahal yang kami hadapi sangat apa...ya, perlahan-lahan memang kami sudah diakui eksistensinya."