Sepekan ini nama Indonesia tengah menjadi tren di jagat maya. Tak lain dan tak bukan adalah fenomena Ghozali yang berhasil meraup milyaran rupiah bermodalkan swafoto di OpenSea, sebuah asar peer-to-peer untuk koleksi kripto dan NFT, termasuk barang koleksi, item game, dan barang virtual lainnya yang didukung oleh blockchain. Di OpenSea, siapa pun dapat membeli atau menjual barang-barang ini melalui kontrak pintar.
Ghozali yang konsisten mengumpukan swafoto selama lima tahun terakhir untuk dijadikan timelapse ternyata berhasil menjual ratusan fotonya tersebut dengan nilai fantastis. Otomatis lelaki yang masih jadi mahasiswa di Semarang ini mendadak viral.
Namun bukan orang Indonesia jika tidak mendadak latah ketika hal viral yang mengundang cuan ini tetiba merebak. Seluruh jagat media sosial mengangkat kisah Ghozali yang kaya mendadak. Twitter, Instagra, Facebook, Youtube, bahkan Tiktok tak ketinggalan membahasnya. Tak pelak sensasi Ghozali semakin melebar kemana-mana.
Laman OpenSea yang awalnya didominasi orang-orang yang menjual karya seni, saat ini tak ubahnya seperti marketplace layaknya Tokopedia dan Shopee. Beragam hal diobral begitu saja di sini.
Dari gambar cilok, pakaian anak, alas kaki, jemuran, bahkan swafoto bersama KTP milik pribadi masing-masing. Semua pengunggah ingin kecipratan rezeki layaknya Ghozali yang menjual hal "receh". Mereka ingin juga kaya secara instan.
Padahal apa yang dilakukan Ghozali bukanlah sebuah kebetulan belaka. Ini adalah buah dari konsistensinya selama ini. Siapa yang kuat untuk swafoto setiap hari selama lima tahun dengan ekspresi dan posisi yang sama? Siapa yang mau menyimpan ratusan foto tersebut di dalam memori hingga penuh? Bahkan Ghozali juga sempat dicemooh oleh kalangan komunitas NFT sendiri. Namun tekad dan konsistensinya selama bertahun-tahun justru membuahkan hasil. Mungkin saja ini adalah fenomena satu berbading seratus ribu dan Ghozali adalah orang terpilih.
Di balik latah dan gagap orang lain melihat eksistensi Ghizali, saya melihat ternyata masih ada kecenderungan mengekor sesuatru yang tidak dipahami. Asalkan viral, seolah suatu hal tersebut dianggap tren dan penting untuk langsung diikuti tanpa mau mempelajari. Jujur saja saya prihatin dengan minimnya literasi yang dialami orang-orang seperti ini.
Berdasarkan studi dan riset data yang dihimpun oleh We Are Social pada tahun 2019, pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 150 juta orang. Hal ini dapat diartikan bahwa sekitar 57 persen dari seluruh penduduk Indonesia sudah menggunakan berbagai media sosial. Sungguh jumlah yang sangat besar! Namun sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang mumpuni.
Tak heran jika warganet Indonesia bahkan pernah dicap sebagai warganet paling tidak sopan sedunia. Beragam serangan komentar seenaknya kerap hinggap di berbagai akun.