Lihat ke Halaman Asli

H. Alvy Pongoh

Traveller & Life Learner

Pelajaran Dibalik Pailit Batavia Air (Bagian-1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Serba-Serbi Penerbangan:

Pelajaran Dibalik Pailit Batavia Air (Bagian-1)


Bisnis penerbangan selalu penuh dengan tantangan oleh karena persaingannya yang sangat ketat dengan kebutuhan modal yang besar namun memiliki marjin keuntungan yang relatif rendah. Hingga di kalangan pelaku bisnis penerbangan ada sebuah anekdot berikut ini: “Bagaimana membuat seorang milyuner? Jawabannya mudah, cari seorang bilyuner dan minta dia untuk membuat maskapai penerbangan!".

Anekdot ini menggambarkan sebuah ambivalensi bisnis penerbangan yang berlaku secara universal. Di satu sisi, bisnis ini sangat menggiurkan bagaikan madu yang manis, namun di sisi lain memiliki resiko kerugian dan kebangkrutan bagaikan racun yang mematikan.  Industri penerbangan selalu berfluktuasi dan dinamis antara lain ditandai dengan adanya kisah-kisah munculnya maskapai penerbangan baru dan juga kasus-kasus kebangkrutan maskapai penerbangan.

Dunia penerbangan nasional pada tanggal 30 Januari 2013 lalu kembali dikejutkan dengan adanya keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mempailitkan PT. Metro Batavia selaku operator maskapai penerbangan Batavia Air.Majelis hakim dalam pertimbangannya menilai Batavia Air tidak mampu membayar utang US$4,69 juta kepada penggugatnya, perusahaan sewa guna pesawat, International Lease Finance Corporation (ILFC).

Utang yang jatuh tempo itu terkait dengan sewa pesawat Airbus A330 yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan swasta nasional itu. Rencana awalnya, pesawat itu dipersiapkan untuk angkutan haji. Namun dalam kurun tiga tahun terakhir, Batavia Air gagal mendapatkan tender pengangkutan haji, sehingga pesawat tidak bisa maksimal beroperasi.

Tunggakan pembayaran utang sewa pesawat itulah yang membuat ILFC melayangkan permohonan pailit kepada Batavia Air melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 20 Desember tahun 2012 lalu. Selain ILFC, Batavia Air juga dilaporkan memiliki tagihan kepada Sierra Leasing Limited yang juga berasal dari perjanjian sewa-menyewa pesawat. Dari dua kreditur ini saja, Batavia Air memiliki total utang jatuh tempo sebesar 9,63 juta dolar AS.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, sepanjang Semester I Tahun 2012, bisnis angkutan udara dalam negeri masih menjanjikan. Penumpang penerbangan domestik dari total 18 maskapai penerbangan nasional mencapai 33 juta orang. Batavia Air termasuk dalam peringkat ke-4 maskapai penerbangan nasional yang terbanyak mengangkut penumpang domestik dengan menerbangkan 3,51 juta penumpang atau menguasai pangsa pasar 10,45 persen. Peringkat ke-1 adalah maskapai penerbangan Lion Air yang menguasai pangsa pasar penumpang domestik sebesar 41,51 persen dengan menerbangkan 13,97 juta penumpang.

Disusul di peringkat ke-2, maskapai penerbangan BUMN, Garuda Indonesia, yang menerbangkan 7,8 juta penumpang domestik atau menguasai pangsa pasar 23,20 persen. Peringkat ke-3 adalah maskapai penerbangan Sriwijaya Air dengan menerbangkan 3,9 juta penumpang atau menguasai pangsa pasar 11,59 persen.

Kinerja Batavia Air itu pun mengalahkan maskapai penerbangan BUMN, Merpati Nusantara Airlines dan maskapai penerbangan Air Asia yang berada di peringkat ke-6 dan ke-7. Kedua maskapai penerbangan itu masing-masing menerbangkan 1,13 juta penumpang atau menguasai pangsa pasar 3,4 persen dan 882.480 penumpang.

Tanda-tanda pailitnya maskapai penerbangan Batavia Air sebenarnya sudah mulai terlihat dari gagalnya akuisisi oleh Air Asia. Maskapai penerbangan berbiaya murah dari Malaysia, Air Asia Berhad dan mitra lokalnya PT Fersindo Nusaperkasa akhirnya mengumumkan secara resmi tentang pembatalan akuisisi saham PT Metro Batavia, pada tanggal 15 Oktober tahun 2012 lalu.

Kesepakatan awal yang telah dicapai pada tanggal 26 Juli 2012, Air Asia akan membeli seluruh saham dari PT. Metro Batavia yang mengoperasikan maskapai penerbangan Batavia Air, dan Aero Flyer Institute (AFI) yaitu sebuah institusi pelatihan penerbangan.Namun pada Oktober 2012, sebuah kajian dari OSK Research Sdn Bhd mensinyalir bahwa Batavia Air memiliki utang hingga 40 juta dolar AS. Bahkan, OSK Research menyatakan, Batavia Air adalah perusahaan yang "sakit" dan menilai rencana akuisisi oleh Air Asia sebagai hal yang tak masuk akal. Sehingga akhirnya rencana akuisi itupun dibatalkan oleh Air Asia.Selain itu indikasi ketidak-sehatan Batavia Air terlihat juga saatmereka mulai mengurangi armada pesawatnya pada tahun 2012 sebanyak empat pesawat dan juga memangkas jumlah rute penerbangannya dari 64 rute penerbangan menjadi 44 rute penerbangan.

PT Metro Batavia beberapa tahun sebelumnya juga pernah digugat pailit oleh Lufthansa Technic karena utang yang tertunggak sebesar 4,4 juta dolar AS. Versi Lufthansa Technic, utang tersebut sudah jatuh tempo sesuai perjanjian tertanggal 19 April 2007 dan 12 Mei 2008. Kedua perjanjian ini mengatur jasa perawatan dan perbaikan mesin pesawat yang dipakai Batavia Air. Namun dalam sidang yang digelar pada 30 Juni 2010, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit yang diajukan Lufthansa Technic oleh karena Batavia Air dianggap sudah melunasi pembayaran kepada kreditur lainnya yaitu Abacus.

Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memang secara sangat sederhana memungkinkan untuk mempailitkan sebuah perusahaan. Dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.” Artinya hanya bila dua perusahaan saja memiliki piutang yang telah jatuh tempo terhadap suatu perusahaan debitur, maka kedua perusahaan tersebut bisa membangkrutkan perusahaan debitur tersebut.

Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kasus pailitnya Batavia Air ini timbul akibat lemahnya pengawasan industri penerbangan Indonesia yang menyebabkan persaingan menjadi tidak sehat.Indikasi persaingan tidak sehat tersebut dikarenakan jumlah calon penumpang dengan potensi penumpang yang ada dan perusahaan penerbangan yang saling memperebutkan para penumpang. Perizinan pengelolaan penerbangan juga dinilai terlalu lemah.

Dalam kasus Batavia Air, YLKI menyatakan akan mendampingi dan melakukan pembelaan bagi para konsumen Batavia Air untuk memperoleh hak-haknya. Oleh karena dampak dari keputusan pailit ini membuat ribuan calon penumpang dari maskapai penerbangan Batavia Air memadati kantor cabang Batavia dan bandara di wilayah yang dilalui oleh maskapai penerbangan berbiaya rendah tersebut.

Banyak calon penumpang yang naik pitam oleh karena sebelumnya mereka telah membeli tiket penerbangan dan menuntut untuk pengembalian uang mereka. Namun reaksi para penumpang tersebut tidak berarti banyak. Karena mereka tetap tidak mendapatkan uang pengembalian dari tiket yang sudah dibeli tersebut..

Pihak lain yang menuntut pengembalian uang kepada Batavia Air adalah para anggota dari ASTINDO (Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia) dan ASITA (Association of Indonesia Tours & Travel Agencies). Agen perjalanan menuntut Batavia Air untuk mengembalikan dana deposit tiket (dari travel agent) yang telah disetorkan dan dipergunakan Batavia Air sebagai modal kerja operasinya tanpa jaminan dan beban apapun.

Sebagai informasi, deposit tersebut harus disetorkan oleh agen perjalanan kepada Batavia Air, sebagai persyaratan untuk dapat menerbitkan tiket-tiket penerbangannya atas reservasi yang sudah dibuat, dan belum menerbangkan penumpangnya.Oleh karena itu menurut ASTINDO dan ASITA, dana tersebut adalah uang titipan agen perjalanan dan bukan merupakan aset Batavia Air, sehingga harus dikeluarkan terlebih dahulu oleh kurator. Diperkirakan dana deposit agen perjalanan di Batavia Air sekitar Rp. 22 milyar.

ASTINDO dan ASITA pun menyatakan bahwa sebelumnya para anggota mereka telah dirugikan oleh beberapa maskapai penerbangan nasional yang pailit, antara lain oleh Mandala Airlines sebesar Rp. 16 miliar dan Adam Air Rp. 22 miliar. Demikian pula oleh Bouraq Airlines, Indonesian Airlines dan Sempati Air. Satu-satunya maskapai penerbangan yang mengembalikan uang deposit agen saat tidak beroperasi lagi adalah Star Air.

Dalam konferensi pers di Jakarta, tanggal 31 Januari 2013, tim kurator Batavia Air mengatakan bahwa pihak konsumen yang telah membeli tiket bersama-sama dengan pihak travel agent yang telah menyetor uang jaminan tiket ada di urutan keempat dalam Undang-Undang Kepailitan.Dikatakan bahwa pengembalian uang tiket atau refund kepada pembeli merupakan kewajiban yang dilunasi paling belakangan setelah kewajiban terhadap bank, pajak, dan karyawan diselesaikan

Tim kurator memerlukan waktu untuk melakukan pendataan mengenai aset-aset perusahaan. Baru kemudian dilakukan pelelangan dan penjualan aset-aset tersebut. Setelah itu tim kurator akan membayarkan kewajiban sesuai dengan undang-undang yang ada. Kepastian mengenai berapa jumlah dan besaran aset yang dimiliki Batavia Air nantinya akan diumumkan melalui media massa oleh tim kurator.

Dalam konferensi pers tersebut tim kurator menghimbau kepada para pemilik tiket untuk menyimpan tiket yang sudah ada sebagai bukti klaim nantinya. Selain itu pihak kurator juga menghimbau kepada para pemilik tiket untuk tidak datang ke bandara ataupun ke kantor Batavia Air dalam jangka waktu dekat oleh karena pihak manajemen Batavia Air sudah tidak mempunyai hak baik untuk menjawab apalagi membuat keputusan.

Pihak kurator sebagai kuasa yang ditunjuk untuk menangani maskapai penerbangan Batavia Air pasca putusan pailit memastikan bahwa sebagian besar karyawan dari total sekitar 3.500 orang akan dirumahkan, kecuali beberapa karyawan yang masih dibutuhkan untuk mendukung kerja kurator. Dijelaskan pula bahwa untuk bulan Januari 2013 karyawan tetap memperoleh gaji namun pada bulan Februari, gaji belum tentu dibayar. Selain itu karyawan yang dirumahkan tidak akan memperoleh gaji ataupun tunjangan.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka kurator akan mengambil alih wewenang direksi perusahaan debitur setelah dinyatakan pailit. Pasal 10 Ayat (1) Huruf (b) Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa "menunjuk kurator sementara untuk mengawasi: 1) pengelolaan usaha debitur; dan 2) pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator".

Oleh: Hentje Pongoh, SE, MM (Chairman HP Institute, Partner Pacific Aviation Consultant, Mantan Guest Services Director Indonesia Air Asia, Mantan Dosen STMT Trisakti)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline