Lihat ke Halaman Asli

Mereka yang Renta Ikut Upacara, yang Muda Sibuk Mencela Sesama

Diperbarui: 17 Agustus 2017   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wajah dan tangan mereka sudah keriput, menunjukkan usia yang sudah senja. Indera penglihatan pun sudah tak bening lagi, tertutup oleh selaput. Mungkin tak ada dana untuk sekedar operasi katarak, atau mereka sudah berpasrah pada ajal yang setiap saat bisa datang menjemput. Otot dan kaki dan tangan pun sudah lemah, tak kuasa untuk berdiri. Tapi dengan susah payah mereka datang, berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, menghormat pada Sang Saka. Bagi mereka, 17 Agustus merupakan hari yang akan dikenang sampai nafas berhenti. Mereka boleh saja lupa dan tahu pada tanggal berapa mereka dilahirkan, tapi mereka akan tetap mengingat hari yang paling bersejarah ini.

Ya, setidaknya itulah yang kita saksikan di layar kaca. Puluhan pejuang dengan penuh semangat  berdiri menyaksikan pengibaran bendera. Bahkan di Bangka, dua orang kakek, yaitu Atok Fadli, yang berumur 76 tahun dan Atok Tar (Mustar Hasan)  yang umurnya sudah mencapai 90 tahun tak pernah sekalipun absen mengikuti upacara!!! Tentu tak mudah di usia senja seperti itu masih beraktifitas di luar rumah. Mereka harusnya berdiam di rumah sebab kondisi badan yang tak memungkinkan. Tapi kecintaan mereka pada negara, mengalahkan segala keterbatasan.

Ironis, mereka yang sudah renta masih berjuang mati-matian mempertahankan negara tercinta, tetapi yang muda justru perlahan menghancurkannya. Sejak dulu, dan puncaknya tahun lalu sampai sekarang, kita ribut masalah ras dan agama. Media sosial sehari-hari hanya dipenuhi hujatan, makian, dan amarah dengan kata-kata yang tak pantas. Fitnah dan kabar hoax disenangi (mendapat like) dan disebar hanya untuk menambah kekisruhan. Kelompok penentang Pancasila bermunculan. Katanya Pancasila adalah toghut. Paham dan tunduk pada Pancasila berarti sama dengan kaum kafir. Mereka juga menentang negara Indonesia, sebab mereka menginginkan negara Khilafah Islam.

Yang patut disayangkan kelompok pendukung gerakan tersebut adalah mahasiswa yang belajar di universitas negeri ternama. Di satu sisi mereka dibiayai dan difasilitasi oleh negara, tapi di sisi lain mereka sangat gencar mempertahankan organisasi penentang Pancasila. Dalam sebuah video yang banyak tersebar di media sosial, beberapa veteran diperdengarkan deklarsasi organisasi tersebut (HTI). Ribuan mahasiswa terlihat memenuhi ruang pertemuan besar. Dengan kepalan tangan mereka berikrar mendukung gerakan laknat tersebut. Para veteran yang melihat video tersebut, berkaca-kaca, hanya kata istighfar dan derai air mata yang keluar. "Tidak hanya Islam yang berjuang, semua agama berjuang demi kemerdekaan bangsa ini", kata salah satu dari mereka kemudian. Video lengkapnya bisa dilihat di sini.

Sunggguh, saya pun berderai melihat video tersebut. Bagaimana mungkin orang yang berpendidikan justru menyangsikan seluruh perjuangan para pendahulunya? Mendukung organisasi khilafah Islam berarti menghianati bangsa dan negara sendiri. Apa jadinya jika ribuan terpelajar yang harusnya menjadi garda terdepan menjaga kebhinnekaan malah ingin menghancurkan? Mungkin kita akan terbawa konflik seperti di timur tengah dan negara-neraga tetangga lain. Mereka bukan melawan negara lain, tapi bertempur saling melawan anak bangsa sendiri. Sungguh memilukan membayanginya.

Konflik karena perbedaan keyakinan akan terus bergema, jika tidak segera dihentikan. Kasus sekelompok masyarakat yang menutup patung Dewa di Kelenteng daerah Tuban ditutup kain adalah tindakan SARA yang harus segera dihentikan dan disadarkan. 17 Agutus merupakan momentum untuk menanamkan kembali semangat persatuan dan kesatuan tanpa pandang bulu suku, agama, ras, dan antar golongan .

Jika kita belum bisa berbuat apa-apa untuk bangsa, setidaknya hormatilah para pejuang dan tanamkanlah perasaan cinta pada tanah air. Caranya tidak usah mulu-muluk, sederhana saja. Jangan share berita atau konten negatif yang mengarah pada isu SARA. Redam segala hal yang tidak bermanfaat dengan menahan diri untuk tidak membagikan berita tersebut. Hindari segala organisasi yang mengarah pada perpecahan dan permusuhan antar anak bangsa. Mari rebut kembali kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan. Jika kita belum memberikan yang terbaik untuk negara, minimal memperjuangkan apa yang telah ada. Salam Bhinneka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline