Untuk kesekian kali terhalang tembok kokoh/
Memaksa mencari cara mengitari untuk menemukan bahagia/
Seperti sunyi menyekat leher/
Dingin merayapi dan membekukan langkah/
Jika hidup ini adalah pertanyaan/
Lalu dimanakah jawaban/
Terngiang dalam telinga mendengung seperti bunyi lebah terbang berkoloni/
Semua impian ini seperti buyar dan tak menemukan jalannya/
Mengapa harus ada cinta dan bahagia?/
Tidakkah lebih baik kita hidup bak hewan saja/
Bebas merengkuh kesukaannya/
Menapaki jalannya sendiri dan menemukan/
Tidak ada dalam jiwanya kehausan menanti cinta/
Pun insting hewani yang mencengkram keinginannya/
Namun aku manusia yang terlanjur dipaksa hancur karena cinta dan takbahagia/
Aku taksedang melacurkan moralku/
Pun menisbikan cinta yang pernah singgah dan hancur/
Seperti penari yang kehilangan alunan musik pengiring/
Demikian asaku tercederai/
Nan takterhingga wujudnya/
Nan menghancurkan dunia seperti bumi berputar di porosnya/
Bak burung bangau nan kehilangan arah/
Demikian adanya hati terombang ambing karena misteri kata bernama cinta dan bahagia/
Bukan sekedar kata simpati karena seirama lagu requiem yang merobek-robek hati karena kehilangan kehangatan/Semua luruh perlahan menyentuh tanah/
Menyesal aku dalami puisi Chairil Anwar/
Menyesal aku resapi bukunya Khalil Gibran/
Pun novel Siti Nurbaya, dan kisah-kisah klasik nan penuh elegi cinta.
Semakin aku mencari arti/ semakin aku kehilangan dalam lingkar labirin nan berputar-putar/
Sampai senja datang, sampai malam menjelang dan pagi hampir menghampar/
Mungkin taksua itu cinta dan bahagia/
Pun kematian jelang datang/
Aku mungkin akan terabaikan tanpa cinta/
Karena aku memperjuangkan namun takjua menemukan artinya/
Di titik ini aku sudah mulai lemah/
Taklama kelak mungkin aku akan kalah/
Bertekuk lutut menyerah karena tidak akan merasakan indahnya bahagia/
Sampai nanti, sampai tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H