Apa itu kebahagiaan? Atau, apakah kebahagiaan tergantung dari suasana hati yang ada di sekeliling Anda atau orang-orang yang bersama Anda? Tentu, kebahagiaan atau kegembiraan adalah suatu keadaan pikiran (mental) atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan, terekpresi lewat kesenangan, cinta, kepuasan, ihklas menerima yang terjadi oleh kerena takdir yang tak bisa diubah (ada takdir yang permanen tak bisa diubah, ada takdir yang bisa diubah).
Kebahagiaan adalah suasana hati dan pikiran, jika pikiran kalut, bagaimana jernih membuat tindakan, dan bagaimana bisa bahagia? Fakta di kehidupan kita sering kali menyaksikan orang yang tak bahagia dalam hidupnya, bukan tak adanya alasan untuk bahagia tetapi oleh karena pintu batinnya telah dikunci sendiri. Semestinya dari hitungan matimatis, seharusnya bahagia, tetapi nyatanya tak bahagia.
Mengapa? Ada orang yang memiliki pekerjaan baik, karier yang baik, jabatan yang baik, pendidikan yang tinggi, harta yang lumayan banyak. Segala pangan, sandang, papan dan yang lainnya terlengkapi, relatif berlebih, tetapi nyatanya tak bahagia. Sebaliknya, ada orang dari sudut pandang manusia, dia tak pantas lagi tersenyum atau "bahagia" oleh karena hidupnya tak karuan, bekerja hanya untuk sesuap nasi, kehidupannya terlunta-lunta, pokoknya terlantar.
Belum lagi tumbuhnya yang sakit dan berbagai macam hal yang dialami. Menderita sekali kelihatannya jika dari kasat mata manusia. Tetapi nyatanya orang yang demikian bisa tabah, bukannya bersedih, atau meratapi nasib, malahan tetap terlihat bahagia.
Sudah tentu karena menemukan kebahagiaan sejati. Tentu, jika dilihat dari sudut pandang umum ukuran kebahagiaan bagi banyak orang bisa saja berbeda-beda. Boleh saja ada yang mengatakan, bahwa kebahagiaan hidup ditentukan oleh harta yang banyak, itu. Boleh juga ada yang mengatakan, kebahagiaan hidup ditentukan oleh status sosial, jabatan pretisius, kedudukan yang tinggi. Ada juga yang mengatakan, bahwa kebahagiaan hidup itu ditentukan oleh kesehatan yang baik atau tak mengalami sakit penyakit.
Bahkan, ada juga yang mengatakan, bahwa kebahagiaan ditentukan oleh pasangan yang cantik, ganteng dan setia. Namun fakta ada orang yang punya harta banyak tapi tak mengalami kebahagiaan, tak bisa menikmati kebahagian. Semestinya semakin tinggi status sosial dan jabatan seseorang juga tak menjadi jaminan bahagia. Kalau demikian realitasnya, lalu pertanyaan lebih lanjut dimanakah sesungguhnya letak kebahagiaan?
Coba kita telusuri sejarah, apakah kebahagiaan itu karena kekayaan? Di tahun 1923, pada satu waktu para milliuner berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Amerika Serikat. Mereka itu adalah orang-orang yang sangat sukses. Namun, tengoklah nasib tragis mereka 25 tahun sesudahnya! Siapakah mereka itu? Pertama, Charles Schwab, CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama pada masanya. Dia mengalami kebangkrutan total, hingga harus berhutang untuk membiayai 5 tahun hidupnya sebelum meninggal. Kedua, Richard Whitney, President New York Stock Exchange. Pria ini harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara Sing Sing.
Ketiga, Jesse Livermore, raja saham "The Great Bear" di Wall Street, Ivar Krueger CEO perusahaan hak cipta, Leon Fraser, Chairman of Bank of International Settlement, ketiganya memilih mati bunuh diri. Keempat, Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Hupson sakit jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa. Kelima, Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri orang lain. Dan terakhir, Albert Fall, anggota kabinet presiden Amerika Serikat, meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara. Lalu, kalau demikian apa yang bisa dipetik dari fakta-fakta di atas? Bahwa kebahagiaan bukan karena harta, kekayaan materi.
Lalu, sekarang dimanakah letak kebahagiaan itu? Robert G. Ingersoll mengatakan, tempat untuk berbahagia itu ada disini. Waktu untuk berbahagia itu sekarang, bukan nanti. Kebahagiaan adalah sekarang, suasana batin. Apa pun situasinya kembali ke suasana batin kita. Tentu, bisa saja ada kesenangan oleh pencapaian atau fasilitas yang dimiliki tepi kesenangan yang baka dan sementara. Bukan sukacita sejati yang lahir di batin, sanubari. Bagaimana caranya? Selagi ada waktu memberi makna untuk sesama. Dari lingkungan terdekat kita keluarga terlebih dahulu. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia. Di atas puncaknya adalah keterarahan diri kepadaNya, tak ada orang yang kecewa jika sudah mengarahkan hidupnya kepadaNya.
Kebahagiaan dicapai dengan memberikan diri kepadaNya. Sementara kebahagiaan sirna karena hidup tak ada makna. Namun kebahagiaan abadi adalah menemukan relasi yang putus dengan Pemberi Hidup. Menemukan tujuan rancanganNya mencipta kita di kehidupan. Saat menemukan kebahagiaan sejati itu, ada damai sejahtera, ada perasaan senang, batin tentram. Semangat menggebu, antusiasme tak kepalang, meresap dalam hati dan memberikan sanubari kita teduh. Maka, mari, jangan sia-siakan hidup yang Tuhan berikan kepada kita. Kita arahkan segala karunia yang telah kita terima, untuk mencapai kebahagiaan sejati di dalam Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H