Lihat ke Halaman Asli

Melupakan Masa Kelam

Diperbarui: 11 Juni 2017   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedamaian tak mudah dicari, tetapi bisa diciptakan. Di atas tadi sudah di singgung sosok Nelson Mandela bagaimana dia melupakan masa kelam. Hal itu ditunjukkan dan mempengaruhi Afrika Selatan ketika menghadapi pemerintahan apartheid saat itu. Kalimat itu kutipan dari teologi Ubuntu, intinya memaafkan. Ubuntu, sesungguhnya gagasan teologia Desmond Tutu, konsep ini dibangun lewat rekonsiliasi bagi masyarakat Afrika Selatan. Mengajak rakyat untuk menyakini "Senzenina", artinya apa yang telah kami lakukan? Melalui ubuntu membawa Afrika Selatan maju selangkah, memaafkan masa lalu.

Ubuntu berarti "kemanusiaan", konsep ini dikemukakan oleh Tutu sebagai tafsiran yang mengoreksi teologi keselamatan milik Barat yang bersifat individualistik, melalui buku Tiada Masa Depan Tanpa Pengampunan. Dalam buku itu dia menggurai bagaimana pengalaman Nelson Mandela membangun rekonsiliasi di Afrika Selatan. Tutu berargumen, bahwa setiap manusia terkait dengan yang lainnya. Karena saling terkait, dan tak seorang pun bisa menyelamatkan diri sendiri. Itu sebabnya, keselamatan adalah sebuah pemberian, bukan hasil dari usaha kita sendiri, melainkan diberikan secara cuma-cuma olehNya.

Integritas ciptaan dan panggilan untuk hidup serupa dengan gambar Allah, Imago Dei. Oleh karena itu, kondisi ini mensyaratkan hubungan yang simbiosis-mutualis, seperti yang diajarkan oleh Yesus dalam Yohanes 15:15. Jika dihubungkan dengan realita yang ada, apartheid di Afrika Selatan, maka sebenarnya baik penindas maupun yang ditindas, tak dapat memperoleh kepenuhannya sebagai manusia. Kondisi saat itu membuat manusia berada di dalam hubungan yang rusak dengan sesamanya.

Itu sebabnya, ubuntu merekontruksi kembali pemahaman tentang mahkluk Tuhan yang saling membutuhkan. Dimulai dengan pandangan mengenai ciptaanNya, identitas kemanusiaan diceritakan sebagai gambarNya. Tutu percaya, bahwa Sang Pencipta menciptakan manusia sebagai ciptaan yang terbatas, yang diciptakan oleh yang tak terbatas diriNya. Jiaka mengacu pandangan yang materialistik, menganggap nilai manusia berdasarkan barang-barang yang dihasilkan, membuat adanya pembedaan nilai yang terdapat di dalam manusia itu sendiri.

Perbedaan dilihat menjadi ancaman, dan hal ini menjadi pemacu munculnya apartheid. Apartheid ini sebenarnya menjauhkan manusia dari keserupaan denganNya oleh pengkasta-kastaan manusia sendiri. Ideologi rasis ini mengarah pada penggunaan kekuasaan untuk menindas orang lain, sehingga "penindas-lah yang memiliki kuasa untuk dapat menentukan keberadaan yang lain."

Kekejaman "apartheid" di era kepemimpinan Presiden Afrika Selatan, PW Botha Botha, membawa rakyatnya phobia pada pemerintah, terhadap kekuasaan. Tak dinyana, Botha dipanggil "Si Buaya Besar," karena dia merupakan pribadi yang menakutkan, otoriter, rasis dan sangat brutal. Dia menjadi presiden kaum rasis kulit putih selama periode 1978-1989.  Akhir kisah apartheid runtuh lewat kerusuhan rasial pada tahun 1994. Kekejaman itu ditelingkung oleh ubuntu menjadi kebaikan, tak dilawan dengan kekerasan. Kini dampaknya, Afrika Selatan menjadi negara paling sejahtera di benua Afrika.

Apa yang bisa dipetik dari pelajaran ini? Kondisi yang rusak dapat dipulihkan dengan lensa ubuntu yang melihat manusia hidup dalam kepenuhannya, di dalam suatu komunitas, di dalam persekutuan, dan di dalam rasa damai hidup bersama. Dalam teologia ubuntu, Tutu membangun pernyataan, hanya Allah yang mengetahui penderitaan itu dan mengatasinya bukan dengan cara yang ajaib, melainkan melalui proses pemusnahan, penghancuran, dan rasa sakit. Sebagaimana Yesus juga menjalani hal ini melalui penyaliban.

Ada peribahasa menyebut, di mana ada masyarakat dan kehidupan, di sana ada hukum (keadilan) itu, barangkali yang menginspirasi Suciwati, istri almarhum Munir dalam memperjuangkan keadilan terhadap suaminya, tanpa kekerasan. "Kekerasan tak bisa dengan kekerasan. Jangan pernah jadikan dia sebagai guru, apapun alasannya, termasuk dendam. Banyak diantara kita terjebak untuk melakukan kekerasan ulang, ketika mengalami sebuah penindasan. Kekerasan apapun bentuknya harus ditolak dan kita lawan." Kekerasan dilawan dengan kekerasan itu kebodohan. Dan kebencian mengemas kebencian. Sikap seperti itu tentu bertentangan dengan hukum kasih, yaitu agar manusia saling mengasihi sesamanya. Kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan tetapi dimaafkan.

Menolak kekerasan ketika berhadapan dengan penindasan, bukan menunjukkan kita jadi penakut dan hanya berpangku tangan menunggu keadilan datang. Atau juga menyerah, pasrah pada nasib yang sebenarnya dapat kita rumuskan sejak awal. Namun, merupakan etos yang setiap waktu diperjuangkan dengan penuh keberanian, bahwa keadilan selalu datang, Dia punya cara sendiri, waktu bisa dipakainya sebagai jawaban.

Lagi, kejahatan kemanusian adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal, itu tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Kejahatan kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan diri, egoisme, sebagaimana di Jerman, masa pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

Lalu, bagaimana mengangkat nilai kemanusiaan itu? Cukupkah sikap tidak makan daging, menjadi vegetarian yang didegungkan Asoka? Tentu tidak! Memang, dari sisi kemanusian, Asoka secara khusus menunjuk pejabat pemerintah yang disebut "pejabat dharma," bertugas menyuruh rakyat supaya beribadah kepadaNya, supaya mengembangkan semangat hidup berbaik-baik pada sesama manusia. Semua agama mendapat tempat yang sama di wilayah memaafkan adalah keajaiban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline