Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Buruh: Menggerus Kemiskinan!

Diperbarui: 1 Mei 2017   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Refleksi Buruh: Menggerus Kemiskinan!

Tanggal 1 Mei sebagai hari buruh di jagat ini, dikenal dengan sebutan May Day. Biasanya diperingati dengan aksi besar-besaran. Kita makin bangga aksi buruh di Indonesia ini, tidak lagi mencekam, apalagi sudah menjadi hari libur nasional. Dan memang, kita tak sudi ada kericuhan apalagi anarkisme saat memperingati May Day. Harapan kita, aksi itu ingin mengubah nasib buruh, mensejahterakan buruh.

Salah satu yang tak pernah lekang dari perjuangan buruh adalah kenaikan gaji, menuntut kesejahteraan hidup. Kenaikan gaji untuk bisa hidup layak, oleh karena harga-harga barang yang terus membumbung, khususnya kenaikan sembako, sembilan bahan pokok. Gaji yang tak seberapa, buruh terpaksa hidup prihatin, dipaksa hidup secukupnya. Mencukupkan apa yang ada. Hidup sesuai dengan gaji. Bagi sebagian orang yang tak mampu hidup prihatin itulah yang menyakitkan, melilit, seperti di lingkaran setan. Muncul kecewa kepada para pengusaha, karyawan selalu kesal dengan bosnya.

Perlawanan buruh sebenarnya juga berawal oleh karena ketidakonsistenan paa kapitalis (pengusaha) terhadap kaum kacungnya. Adalah Karl Heinrich Marx adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan yang mendegungkan kesetaraan ekonomi, sosialis. Dia, seorang Yahudi Jerman yang dibesarkan dengan tradisi Agama Yahudi.

Marx kecewa pada ayah yang sedari kecil mengajarkan tata agama Yahudi kepadanya, tetapi oleh karena pragmarisme bapaknya, ingin mendapat akses ekonomi dari kaum Prostestan, ayah Marx meninggalkan agama Yahudi dan menjadi pengikut Protestan. Marx tak habis pikir, kecewa sekali dengan ayahnya tak konsekwen menjalankan imannya. Pendek cerita dia meninggalkan Jerman dan berangkat ke Inggris, disanalah dia mengembangkan konsep teori kesetaraan ekonomi. Walau, apa yang dia perjuangan sampai saat ini tak pernah tuntas, tak pernah ada kesetaraan. Tak mungkin ada kesetaraan ekonomi. Demikianlah buruh selalu dalam posisi lemah, kepada para pengusaha, mengingatkan buruhnya untuk hidup sederhana, tetapi dirinya hidup hedonis.

Apa refleksi hari buruh yang kita bisa petik? Sebagaimana Marx  kecewa pada bapaknya yang meninggalkan keyahudiaanya demi akses ekonomi, buruh kecewa pada tuannya oleh menghiraukan kesejahteraan buruhnya, hanya memikirkan kepentinangan sendiri. Tentu, buruh tak hendak membeci para pengusaha, tetapi benci pada pengusaha yang rakus, serakah seperti kapitalis yang tak peduli pada buruhnya.

Tetapi, buruh juga tersusupi mental hedonis, bisa berutang, membayar kredit tetapi untuk kebutuhan utama ngos-gosan, hanya karena ingin menikmati gaya hidup. Mayoritas buruh terpola pada pemikiran, segala sesuatu diukur dengan gaji besar baruh hidup sejahtera, tetapi lucunya keinginan sejahtera tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas diri, sumber daya manusia yang mumpuni.

Segelintir pengusaha mengajarkan buruhnya hidup prihatin, tetapi dirinya hidup melimpah-limbah, hedonis. Buruhnya disuruh hidup sesuai dengan kemampuan pendapatan yang diterima. Pun, memang, ada segelintir buruh yang hidup dengan gaya hedonis. Tak bisa hidup sesuai gajinya. Jelas, hidup sesuai gaji penting. Jangan gaji yang mengikuti gaya hidup. Barangkali inilah yang disebut inflasi gaya hidup. Dan ini kelak menjadi masalah yang selalu membuat hidup terus di lingkaran setan. Gaya hidup yang jauh melebihi kemampuan.

Kenyataan yang ada, setiap naik gaji, merasa layak untuk menikmati gaya hidup yang lebih tinggi. Pertanyaannya adalah, apakah hidup untuk gaya hidup atau hidup semampu yang bias dihidupi. Ini terus yang terus menjadi pergumulan. Pertanyaannya apakah cara terbaik untuk mengubah kehidupan buruh, apakah hanya meningkatkan gajinya? Saya kira belum tentu, tetapi pemahaman yang yang menyeluruh bahwa sikap hedonis penting digerus untuk menihilkan kemiskinan. Dan masing-masing kembali kepada personal buruh itu sendiri, bertekad memutus lingkaran kemiskinannya. (Hojot Marluga)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline