Kartini Batak
Bukan lagi hendak mengingat kampaye Pilkada DKI Jakarta. Hanya saja, persis di tanggal 21 April, hari lahirnya RA Kartini, saya teringat Nurmala Kartini Panjaitan, mantan Duta Besar RI untuk Republik Argentina merangkap Republik Paraguay yang dikenal dengan nama Kartini Sjahrir, adik dari Jend (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Penambahan Sjahrir sendiri di belakang namanya, diambil dari nama almarhum suaminya, Sjahril.
Beberapa hari sebelum Pilkada DKI Jakarta lalu, Kartini menggelar acara “manulangi” Ahok. Acara tersebut juga menjadi berita hangat di komunitas Batak. Acara itu, tentu bisa dimengerti, sebab Ahok belajar politik dimulai dari keluarga Kartini, Partai Indonesia Baru (PIB), partai yang didirikan Sjahril, suami Kartini. Bicara Kartini Batak, sudah tentu Kartini Sjahril salah satu dari ribuan perempuan Batak yang telah tercerahkan. Menikmati pendidikan tinggi dan mendapat akses yang lebih luas. Soal prestasi, berjibun prestasi yang telah ditorehkan perempuan Batak.
Tentu, amat menarik memperbincangkan sosok Kartini-Kartini Batak sekarang ini. Sejak dulu hingga sekarang orang Batak tidak kurang sosok dari perempuan yang menginspirasi. Ambil contoh, Lopian Sinambela, boru Sisingamangaraja ke-XII, tunangan Barita Moupul Lumban Gaol alias Tor Naginjang (keturunan Tarabini). Lopian sendiri wafat saat membantu perjuagan ayahnya melawan penjajah. Dia sosok perempuan Batak yang tampil membela perjuangan Perang Batak, tanggal 17 Juni 1907. Lopian diberondong bedil Belanda di kaki Gunung Sitopangan.
Di masa modern ini, kita mendengar Elvira Rosa Nasution perenang nasional, atau Rosiana Silalahi jurnalis televisi senior, Dewi Lestari Simangunsong (Dee) sastrawan, itu. Mereka adalah Kartini Batak, hebat di bidang masing-masing. Dan masih berjibun perempuan Batak yang tidak pernah terekpos. Tetapi, penghargaan juga tak boleh dilupakan, peran perempuan Batak, terutama ibu-ibu, mereka sebagai tulang punggung keluarga. Berjuang untuk sesuap nasi. Di kampung-kampung Batak, kita mudah menemukan perempuan Batak yang berjuang untuk keluarganya. Pernah ada berita, di Huta Galagala, Balige, seorang perempuan Batak berjalan kaki sepanjang 25 kilometer hanya untuk menjual kerupuk.
Perjuangan ibu tersebut untuk membesarkan dan menyekolahkan sembilan anak. Sebenarnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, kita juga dengan mudah bisa menemukan kuli panggul, perempuan Batak, seperti itu di Pelabuhan Tanjung Priok. Pekerjaan yang biasa dilakoni laki-laki, tetapi dipikul perempuan Batak. Sesuatu yang luar biasa. Pilu rasanya jika menyaksikannya. Tetapi, kita juga mesti bangga oleh karena daya juang mereka. Mereka berjuang untuk bisa eksis membiayai kehidupan keluarga, membantu suami mereka yang umumnya sopir atau kernek metromini. Mereka tinggal di tanah garapan Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara.
Sesungguhnya, dalam budaya Batak amat menjunjung hormat pada perempuan. Meskipun Budaya Batak menganut Patrilinear, mengikuti garis keturunan laki-laki. Entah kenapa ada pendapat perempuan (boru) dalam budaya Batak hanyalah pelengkap. Sesungguhnya itu tak tepat. Walau hanya segelintir saja perkara, tetapi memang masih kita dengar ada perempuan yang kurang mendapat ruang, kesamaan hak di tengah keluarganya. Apalagi ungkapan Batak menyebut, “Tinallik randorung, sai bontar gotana, dos do anak dohot boru.” Jika diterjemahkan bebas, sama anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama saja.
Ada lagi perumpamaan yang lain: "Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru" yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama. Kita juga bangga bila HKBP mempelopori kesetaraan jender. Dulu, kita terpesona karena ada perempuan Batak menjadi pendeta, belakang menjadi pareses, bahkan sekarang sudah dua orang perempuan Batak sebagai Kepala Departemen Marturia dan Kepala Departemen Diakonia: Pdt Debora P Sinaga dan Pdt Anna Vera Pangaribuan. Dan tatkala bangganya kita ada perempuan Batak, jenderal bintang dua, penyapu koruptor, Basaria Panjaitan. Tercatat sebagai perempuan pertama yang berpangkat Inspektur Jenderal orang Batak, bahkan dalam sejarah KPK berdiri, baru dialah perempuan yang menjadi wakil ketua KPK.
Namun di atas kebanggaan itu, masih banyak perempuan Batak yang dianggap rendah. Buktinya banyak perkara sengketa warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, oleh ego dari saudari laki-lakinya. Apa artinya, sudah saatnya menghargai perempuan setara, bukan hanya menganggap mereka pelengkap dan kaum lemah, sebab memang semua manusia sama di mata Tuhan. Barangkali, penelitian professor Sulistyowati Irianto perlu diresapi. Dia membuat studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Mengapa demikian? Apakah perempuan Batak tak lagi hormat dengan hula-hulanya?
Dan, mengapa sekarang banyak perempuan Batak yang menuntut harta warisan lewat jalur hukum formal? Seungguhnya masih harus ditemukan jawabannya. Tetapi, dari hipotesa sementara oleh karena tak setara. Apalagi ruang adat sempit untuk jalan menemukan keadilan. Tak heran banyak perempuan Batak berperkara di pengadilan dengan saudaranya laki-laki. Ini kritik untuk budaya Batak juga. Budaya mestinya dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Akhirnya, mari kita menerima otokritik ini, sebagaimana umumnya sifat orang Batak, gengsi membumbung, kurang menghargai borunya. Berjubel sejarah soal gender, utamanya perempuan Batak yang menuntut kesetaraan. Boru, oleh karena masih relatif kurang diberi tempat dibandingkan dengan laki-laki, termasuk dalam tataran adat. Selamat hari Kartini.
(Hojot Marluga, jurnalis dan penulis puluhan buku & Humas di Kantor Pengacara)