Lihat ke Halaman Asli

Natua-tuami Do Debata Natarida dan Pengabdian Kita pada Orangtua

Diperbarui: 1 Oktober 2016   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Hojot Marluga

Ketika saya menulis buku Mereaktualisasi Ungkapan Filosofis Batak saya menemukan tajuk di atas. Sesungguhnya, kata Natua-tuami Do Debata Natarida bukan pertama kali saya baca. Sebelumnya, saat saya menulis buku Sang Apostel Batak Dari Munson-Lyman Hingga Nommensen, ternyata ungkapan itu diurai dari pikiran I L Nommensen ketika berjumpa dengan orang-orang Batak yang baru saja menyatakan diri menjadi Kristen. Ada seorang raja menanyakan, kemungkinan yang bertanya itu Raja Pontas Lumban Tobing, bertanya pada Nommensen. Tuan Nommensen bagaimana kami bisa melihat Tuhan? Lalu, Nommensen dengan berpikir sejenak, menjawabnya: “Natua-tuami Do Debata Natarida.”

Apa arti jawaban tersebut? Bilalah dialihbahasakan, orangtuamulah Tuhan yang terlihat. Ungkapan yang filosofis. Saya kira bukan maksud Nommensen mengatakan, bahwa orangtualah Tuhan. Jelas, bukan begitu maksudnya, tetapi lebih kepada pemahaman bahwa orangtua adalah wakil Tuhan di bumi ini bagi anak-anaknya. Memahami Tuhan, menghormati orangtua. Bahwa dalam diri orangtua terdapat gambar Tuhan. Akan adanya Tuhan adalah ungkapan batin dalam diri setiap orang. Sikap iman seperti itu tersirat di dalam setiap jiwa seorang anak, tentu juga tak lepas dari keteladanan orangtua. Maka tentu taklah ringan peran dan tugas orangtua, merealisasikandirinya sebagai gambar Allah. Selain membesarkan mereka secara fisik, juga membesarkan membesarkan cakrawala berpikir mereka. Tentu, hanya orangtua yang memahami gambar Tuhan dihidupnya yang tak menyiayiakan tanggung jawabnya.

Kenyataan yang ada, tak semua manusia menghargai orangtua. Banyak foklor menceritakan hikayat orang yang tak hormat pada orangtua. Di Minangkabau ada alkisah dari Malim Kundang, di tanah Batak ada kisah si Mardan. Inti cerita, memiriskan, seorang anak tak menghormati orangtua yang pada akhir cerita hidupnya membawa naas baginya. Tak memberikan pengabdian diri ketika orangtua membutuhkan dirinya. Jelas, orangtua tak hendak menuntut balas pada anak-anaknya. Tetapi, anak juga tak boleh lupa pada kebaikan orangtua. Oleh sebab orangtua adalah simbol dari kehidupan, karena tanpa orangtua seseorang tak pernah ada di dunia ini. Alih-alih, anak tak akan mampu membalas budi orangtua, dengan cara apapun.

Kitab Suci sudah ribuan tahun lalu mengingatkan; "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu." Oleh karena itu, tak ada alasan anak untuk berbantah-bantahan pada orangtuanya. Mari sadari, orangtua tak saja hanya melahirkan dan membesarkan kita. Pada masanya, mereka bekerja demi kita. Menjaga kita, mendidik kita, bahkan seluruhnya dikorbankan untuk kita. Bila belajar dari biografi tokoh-tokoh hebat, mereka amat hormat pada orangtua. Sebab memang, menghormati orangtua adalah salah satu syarat mutlak untuk memahami diri.

Jikalau kita menelisik pada sejarah hidup tokoh-tokoh hebat itu, pada diri mereka, selalu pekat terdapat rasa hormat yang tak kepalang pada orangtua. Contoh terayal, semua presiden negeri ini juga menunjukkan keteladanan demikian, sangat hormat pada orangtua. Dari Soekarno hingga Jokowi. Bagaimana Soekarno menghormati ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, banyak naskah-naskah menuliskan itu. Atau, bagaimana sangat hormatnya Jokowi terhadap ayahnya, Notomihardjo dan ibunya Sujiatmi Notomihardjo. Kisah kelam yang dirasakan orangtuanya ketika digusur, masih terngiang-ngiang dalam benaknya hingga sekarang.

Hormat pada orangtua, kekuatan mereka berjuang dan akhirnya menemukan makna hidup. Sebuah tindakan keteladanan yang mulia daru tokoh-tokoh hebat itu, salah satu kekuatannya sangat hormat pada ayah-bundanya. Hanya saja, tak semua orang menghormati orangtua. Tahun 2015 lalu, di Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara, seorang pria tega membunuh ayahnya dan memukuli ibunya hingga pingsan, oleh karena orangtuanya tak mampu membiayai pernikahannya. Sesungguhnya banyak kasus serupa seperti ini. Bahkan, kenyataan sekarang ini banyak juga anak yang telah hirau, tak paham “orangtua adalah wajah Tuhan.” Di kota-kota sudah latah memenitipkan orangtuanya yang sudah renta ke panti werdha. Tak sedikit orangtua yang hidup di panti werdha oleh karena tak ada lagi keturunannya yang dengan rela dan ihklas merawat dan melayani kehidupannya.

Saya berkali-kali pergi ke panti werdha menyaksikan sendiri, bahwa umumnya orangtua yang ada disana bukan karena miskin, bukan karena tak ada keturunan. Tetapi karena anak-anaknya tak peduli, orangtuanya merasa bahwa kehadiran mereka membawa permasalahan untuk keluarga anak-anaknya. Demi kenyamanan anaknya, mereka rela hidup di panti jompo, tersendiri dan menyendiri. Sesungguhnya batin mereka menjerit, ingin rasanya bertemu anak-anaknya setiap saat. Miris rasanya menyaksikan hal itu, oleh alasan anak-anak mereka, terlalu sibuk. Tak tepatlah banyak orang menyebut alasan di kota terlalu sibuk, orangtua diasuh panti jompo.

Bukan tak mungkin di era yang akan datang panti werdha menjadi rumah yang paling nyaman untuk orangtua, seharusnya tak begitu. Tulisan ini sesungguhnya mensomasi, menggugat diri saya sendiri sebagai seorang anak. Apakah saya sudah menunjukkan pengabdian pada orangtua saya? Saya kira ini somasi untuk kita semua. Bagaimanapun kita tak boleh hiraukan pada orangtua di masa-masa mereka membutuhkan kita. Sebagaimana Efesus 6:1-3 mengingatkan; “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Hendaklah kita renungkan bersama, kasih sayang dan kepedulian orangtua kita adalah hadiah paling berharga yang diberikan Tuhan kepada kita, sejak kita lahir hingga kita bisa mandiri seperti sekarang ini. Jikalau ada kesempatan membalasnya, bukan dalam rangka membalas jasa, tetapi sebagai bakti dan pengabdian, memahami bahwa dalam wajah orangtua kita temukan wajah Tuhan. Jika kita belum mampu membahagiakan mereka saat, minimal jangan buat hati mereka perih dan sedih oleh kekurangsantunan kita pada mereka. Mari pahami kata-kata Nommensen di atas, bahwa orangtua adalah Tuhan yang terlihat, itu.

Jikalau pun kita berhasil hari ini tak lepas dari peran mereka dulu, orangtualah yang memberi pondasi pada jiwa kita. Atau, jikalau kita belum berhasil di kehidupan ini, jangan putus asa. Kita harus tahu, sesungguhnya merekalah yang paling terpukul jika masih menyaksikan anak-anaknya masih terseok-seok, masih berjuang. Sekarang, jikalau kita pernah bersalah pada orangtua, jika mereka masih hidup, datangilah dan tersungkurlah di kakinya. Bukan dari mereka berkat, tetapi merekalah jembatan, saluran berkat, itu. Jangan tuntut orangtuamu seperti pikiranmu, tetapi jadilah anak yang bersyukur pada orangtuamu, apapun adanya mereka, kita mengakui mereka adalah gambar Tuhan. Sebab, tak mungkin kita bisa berdoa pada Tuhan, jika hubungan kita dengan orangtua rusak, tak beres.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline