Lihat ke Halaman Asli

Mendengungkan Teologia Lingkungan

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mendengungkan Teologia Lingkungan

Oleh: Hojot Marluga

Zaman kita ini ditandai dengan telalu banyak lingkungan hutan kita rusak. Bukan hanya di Indonesia memang, semua bangsa-bangsa menyerukan kembali menanam pohon. Rusaknya hutan karena mengeksploitasi, menebangi pohon berlebihan. Atas nama kemajuan ekonomi hutan dirusak. Padahal semestinya kemajuan ekonomi harus juga mempertimbangkan kelestarian lingkungan hutan.

Rusaknya hutan membawa konsekwensi logis. Iklim yang tidak menentu, karena rusak lingkungan. Ekosistim tidak lagi stabil. Karena itu, kesadaran untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan kembali, harus terus-menerus didegungdegungkan. Sudah tentu, rusaknya lingkungan itu disebabkan oleh segelintir ulah manusia, karena eksploitatif dan destruktif hutan yang begitu massif tadi. Tetapi dampaknya pada seluruh makhluk.

Tetapi, kalau membicarakan kerusakan hutan sesungguhnya sudah berjalan lama. Sejak dimulainya proses industrialisasi. Era ini, membawa cara pandang manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat bawah kemakmuran. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang. Atas nama kemakmuran untuk memenuhi hajat selegintir orang tadi. Disana terjadi kongkalikong antara pengusaha dengan para pembuat kebijakan, dengan memberikan izin pengelolaan hutan.

Akibatnya? Terjadilah intensitas pengeksploitasian huta menjadi semakin gencar tak terkendali. Pemikiran hutan dipahami tak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia saja. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme. Namun, ketika manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam semakin menipis. Kerusakan itu diperberat oleh polusi atau pencemaran.

Kalau kita merujuk pada Kitab Suci, bahwa disana bening dijelaskan terkait penciptaan. Bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Artinya, manusia mempunyai keterkaitan, sudah tentu miliki kesatuan dengan lingkungan. Manusia diciptakan sebagai Imago Dei, segambar dengan Allah. Maka, disini kewenangan mansuia untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya menjadi diskusi menarik.

Di satu segi, manusia adalah bagian integral dari lingkungan, tetapi di lain sisi diberikan otoritas menguasai. Teks ini sering dipelintir sebagai alasan mengelola alam sesuka hati. Mestinya harus ditafsir, bahwa hutan tidak boleh dipahami hanya sebagai miliknya. Ada kata “memerintah dan memelihara bumi.” Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang. Disinilah peran teologia lingkungan, itu. Kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan (hutan) harus dikembalikan pada tanggung jawab moral manusia itu sendiri.

Lalu apa kata teologi, etika Kristen? Jelas, umat Kristen (gereja) harus mampu memainkan peran, menyerukan kelestarian lingkungan. Sebagaimana dikatakan Jhon Stott (1990), seyogyanya dirumuskan dengan istilah mengubah bukan menyelamatkan. Stott menguraikan bahwa penyelamatan tidak akan langsung merombak struktur-struktur masyarakat. Tetapi akan mempengaruhi proses pembaharuan yang diwujudkan oleh orang-orang yang telah mengalami pemulihan, hubungan dengan Allah.

Gereja bukan organisasi penyelamat lingkungan. Bukan pula organisasi politik. Buka juga yayasan sosial atau lembaga pemerintahan. Namun integritasnya merupakan tanda manfaatnya bagi dunia. Justru organisasi-organisasi tersebut dan seluruh ciptaan lain dapat belajar dan meniru tindakan nyata gereja untuk memulihkan keutuhan ciptaan. Dan penegakan shalom Allah di bumi. Kenyataan yang kerap terjadi adalah sebaliknya. Gereja terlihat jauh tertinggal dibanding apa yang telah dilakukan oleh organisasi konvensional.

Ekonomi, ekumene dan ekologi

Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh pada kehidupan umat. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan. Alih-alih, Gereja harus juga menjadi motor menyuarakan terjaganya lingkungan. Pertama harus dari dirinya sendiri, sebelum menyuarakan di luar dirinya.

Cara pandang gereja harus juga memiliki cara pandang teologia lingkungan. Teologi lingkungan adalah tuntutan kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan keberpihakan penuh kepada lingkungan. Pembumian teologi lingkungan ini bertujuan dan berperan untuk mendekonstruksi, menguji kembali sikap hidup dan tingkah laku kita terhadap alam.

Teologi lingkungan adalah perspektif teologi tentang alam semesta yang mengkaji ulang posisi manusia, dan tanggung-jawab etisnya dalam relasi kosmos. Cara pandang ini nantinya akan membongkar keyakinan bahwa manusia dan alam adalah dua dunia yang berbeda, yaitu manusia sebagai pusat dan alam sebagai hal yang subordinat alias yang lain. Dengan pembumian teologi lingkungan, kita akan sadar bahwa semua ciptaan Tuhan baik manusia, alam, maupun hewan mempunyai hak untuk bereksistensi. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang berhak menguasai sesamanya, selain Tuhan.

Karena itu, pesan dari hal tadi kita sebagai gereja tidak boleh kehilangan jati diri, karena itu harus ditumbuhkembangkan, karena memang sangat diperlukan. Sikap miliki jatidiri itu dikembangkan untuk menguatkan identitas kita sebagai gereja yang terus beranjak dewasa. Jelas, manusia dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Jelas, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi, bukan hanya kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem.

Terjaganya ekosistim, lagi-lagi fungsinya agar seluruh ciptaan lainnya bisa hidup. Sebab memang kata-kata ekonomi, ekumene dan ekologi berakar dalam kata Yunani oikos: artinya rumah. Ekonomi berarti menata rumah, itulah tugas pengelolaan kebutuhan lingkungan hidup.  Sedangkan kata, ekumene berarti mendiami rumah. Itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. Sementara ekologi berarti mengetahui dan menyelidiki rumah. Itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap alam. Tugas itu adalah tugas bersama. Semua orang dan seluruh ciptaan. Menata kehidupan bersama, bermitra dengan semua orang, bahkan dengan semua makhluk.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline