"Kamu kerja di mana sekarang?"
"Jakarta."
"Wah, sudah sukses dong!"
Pernahkah Anda mendengar percakapan demikian? Atau, Anda sendiri mengucapkannya pada teman? Bisa jadi Anda yang mendapat pertanyaan itu, lantas bingung hendak menjawab apa.
Sampai sekarang, Jakarta sebagai ibu kota tampaknya punya magnet yang begitu memikat. Dari kampung, jika diketahui ada sanak saudara bekerja di Jakarta, agaknya derajat keluarganya naik di mata tetangga.
Setiap hari raya, arus balik -- sebagai reaksi normal dari arus mudik -- beroleh perhatian khusus di Jakarta. Tentu, orang-orang yang berharap masa depannya cerah dengan mencari pekerjaan ke ibu kota, diharap tidak berbekal tangan kosong.
Ada keterampilan. Punya ijazah. Miliki kenalan. Namanya juga cari kerja, harus ada kelebihan yang bisa ditawarkan sehingga pemberi kerja tertarik mempekerjakan.
Tanpa ketiga itu, tantangan besar dihadapi. Potensi luntang-lantung di jalanan. Ini yang tidak dikehendaki terjadi di Jakarta.
Sudah bekerja di Jakarta pun, belum tentu sukses. Pendapatan yang disandingkan dengan biaya hidup harus dilihat secara komprehensif. Berapa yang bisa ditabung? Jangan-jangan, semua habis untuk gaya hidup.
Magnet lain