Bila saja bapak tak meninggalkan ibu Selasa pagi, bila saja rumahnya tak kebanjiran lagi dan lagi, bila saja ibu tak ambil banyak utang dari tengkulak padi, Tini tak akan jadi seperti sekarang ini.
Sungguhlah banyak cerita ingin dilupakan, tapi tak semua ingatan mampu mengabaikan. Yang indah pastilah minta dikenang, yang buruk sangat relalah dibuang. Sayang, Tini tak kuasa melakukan.
Remaja perempuan yang bernama Tini itu baru saja membuka mata. Angin bertiup menembus celah jendela. Matahari sudah tampak garang. Ujung seprei tersibak di sudut kasur. Bantal cokelat bersarung lapuk tertumpuk jatuh bersama guling. Buku-buku dengan halaman terbuka terserak di meja. Lantai berdebu. Ubin putih tampak kecokelatan. Tercium bau apek.
Belum lama Tini mengucek mata, terdengar derit pintu. Tini menyeret langkah, pergi ke ruang tengah. Ia terperangah. Ibu tak tampak. Tini segera mengalihkan pandang ke kamar depan. Pintunya sedikit terbuka. Tini beranjak dan menemukan Ibu di sana.
"Kukira Ibu kenapa-kenapa," kata Tini.
Seperti yang sudah-sudah, Ibu selalu bangun jauh lebih pagi darinya. Senyum hangat Ibu tersedia di atas meja makan. Sepotong roti dan segelas teh panas pasti siap terhidangkan.
Wanita beruban putih yang disapa ibu itu diam saja. Ia lekas memeluk erat Tini setelah melihat mata Tini membasah. "Harusnya Ibu yang bilang, kamu yang kenapa. Kok tiba-tiba pulang?" tanyanya lembut. Memang, baru semalam Tini sampai rumah. Tanpa Tini jawab, naluri Ibu tahu, anaknya sedang tak baik-baik saja. Tentu pada saat itu, Ibu akan berusaha sok kuat. Bilamana seorang jatuh, tambahlah sial jika tak ada yang mengangkat. Begitu pikir Ibu.
Tini masih tak bersuara. Terdengar isak perlahan. Tini menyandarkan wajah di dada Ibu. Daster bagian depan Ibu lembap.
"Ngomong, Tini. Ibu gak tahu masalahmu kalau gini terus."
Tini malah makin terisak. Kali ini tangisnya pecah.