Gadis itu baru saja selesai makan. Belum sampai hitungan semenit lalu, giginya sudah kembali bersih, sehabis begitu cermat ia mencungkil sisa-sisa daging dengan tusuk gigi yang selalu sedia ia bawa dalam tas merahnya. Tidak lupa, ia mengambil beberapa helai tisu, menatap muka di depan cermin kotak kecil yang tergantung di sebelah tempat duduknya, lantas memastikan sekeliling bibirnya yang bergincu merah muda bersih tiada noda.
Namun, seperti biasa, ia merasa ada yang kurang. Tidaklah pernah menjadi lengkap, setiap menu makanannya, jika tidak diakhiri dengan sesuatu yang selalu saja dibelinya, meskipun jaraknya jauh, bahkan terbilang sangat jauh. Ia bangkit berdiri, melangkah cepat keluar ruangan, membuka pintu, lantas memanggil.
"Pak, seperti biasa," kata gadis itu dalam isyarat jari-jari tangannya. Ia menunjukkan telunjuk dan jari tengah secara bersamaan, setelah itu lima jari pun serempak, kepada seorang pria berbaju hitam, berkacamata cokelat, yang sedang menyandarkan tubuh di samping pintu mobil. Sodri lekas mengangguk.
Sodri sebetulnya sudah tahu kebiasaan tuannya. Tetapi, ia tentu tidak berani bergerak, kalau-kalau tidak ada perintah. Setiap pukul satu siang, ia harus memastikan dua es goyang rasa cokelat dan lima es goyang rasa strawberry sampai ke tangan tuannya.
Gadis itu kembali ke dalam ruangan. Ia mengambil kuas dan menyapukannya pada cat berwarna hijau. Setelah beristirahat tadi, ia kembali melakukan rutinitas melukis di galeri tempatnya berlatih. Kali ini letaknya sangat jauh dari rumah, karena pemilik galeri langganannya sedang berlibur ke luar kota.
Sementara, gadis itu tetap harus melukis, dan ia hanya bisa melukis ketika ada seseorang di sampingnya memberi masukan seputar kualitas lukisannya. Ia merasa harus melukis setiap hari, karena hanya melukislah yang bisa mengobati sesuatu yang selalu berkecamuk dalam dirinya.
Sodri bergegas masuk ke mobil. Ia melihat jam tangan, menghidupkan ponsel, dan mencari jalan tercepat untuk sampai ke sebuah taman, lewat jalur pergi pulang, sebelum pukul satu siang. Ia mengerutkan kening, tampak berpikir, seusai melihat jalanan serempak berwarna merah pada tampilan layar ponsel, pertanda sedang macet di sana sini. Maklumlah, jam makan siang, tentu orang-orang berkeliaran mencari makan.
Sebagai orang yang baru beberapa minggu bekerja, Sodri belum banyak tahu tentang keluarga majikannya. Masih banyak peristiwa yang menurutnya terasa aneh, baik di rumah maupun dalam pikiran majikannya. Mengapa harus es goyang yang selalu menjadi makanan pencuci mulut? Tidak adakah menu lain yang bisa menggantikan? Mengapa pula harus es goyang si Jamin, yang dijual hanya di taman itu?
Sudah tahu lokasi galeri sekarang sangat jauh, masih tega majikan menyuruhnya pergi. Tetapi, apa lacur. Sodri hanyalah seorang babu. Sodri tidak boleh banyak bertanya dan memang tidak pantas bertanya. Lagipula jika bertanya, ia ragu, akan mendapat jawaban memuaskan.
Sebuah kertas gambar putih dan bersih tergeletak di atas meja. Perlahan, gadis itu mengayunkan kuas. Sebelum ia makan tadi, sudah tergambar sebuah sketsa, yang selalu saja menjadi pertanyaan orang-orang yang mendampinginya. Tidak pernah berubah, hanya gambar itu, dan terus gambar itu, tanpa ada variasi bentuk dan warna.