Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Peron Kesedihan

Diperbarui: 29 September 2021   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi peron, sumber: redigest.web.id

Belum lama setelah sebuah kereta lewat dan pergi, mengantar penuh sesak penumpang yang ingin pulang kampung ke desa, sebuah kereta dari arah seberang datang, juga penuh sesak dengan orang-orang yang hendak mengadu nasib di kota besar. 

Mereka berjejalan keluar lewat pintu kereta yang kecil itu, melompat ke pinggir rel, merapikan koper-koper besar entah berisi apa, lantas berjalan menuju pintu gerbang, membawa secercah harapan dan meninggalkan beberapa kenangan.

Kedatangan dan kepergian selalu begitu. Ada yang dijumpai, ada pula yang dipisahkan. Gadis itu sedang belajar tentang perpisahan. Ia duduk di kursi tunggu. Ia mengamati satu demi satu kereta yang bergantian, lalu lalang, mengabadikan cerita baru dan meninggalkan kisah usang.

Tidak jauh dari tempat ia duduk, sepasang kekasih -- pria dan wanita -- sedang asyik masyuk, duduk berdekatan, begitu dekat seperti tanpa sekat. 

Kulit tangan mereka bersentuhan. Tangan pria itu memegang tangan sang wanita. Ia membuka jari-jari tangan kirinya, menempelkan pada telapak tangan kanan wanita itu yang terbuka ke atas, lantas menggenggamnya dengan begitu erat. Jari-jari mereka menyatu dalam kepalan tangan yang begitu hangat.

Mereka sudah duduk cukup lama. Gadis itu bertanya-tanya, barangkali mereka memang dengan sengaja datang lebih dulu dan berjarak lebih lama dari jadwal keberangkatan kereta. 

Bukan hal baru itu. Banyak kekasih seperti itu. Dengan sengaja menghabiskan waktu lebih lama di stasiun, untuk menghangatkan bahkan semakin hangat cinta mereka, yang sebentar lagi terpisah oleh ruang dan waktu.

Gadis itu memalingkan pandang ke sebelah kanan. Jika tadi ia sekadar sedikit menoleh, sekarang ia benar-benar memusatkan perhatian pada sepasang kekasih itu, entah sudah kekasih ke berapa yang selalu saja dilihatnya bercinta di stasiun.

"Kamu benar-benar rela, aku pergi?" tanya sang wanita.

"Mau bagaimana lagi? Ini ... demi masa depanmu," jawab si pria dengan tersenyum.

Mata wanita itu menatap lekat mata si pria. Mata pria itu pun demikian, tidak kalah kuat, menyorot tajam, seperti hendak memberitahu sesuatu yang tidak bisa terkatakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline