Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Rahimku Masih Kosong

Diperbarui: 31 Agustus 2021   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wanita yang gelisah karena belum punya anak, sumber: Pexels.com/Felipe Cespedes            

Aku selalu tidak punya muka ketika diajak setiap setahun sekali berkumpul dengan teman-teman lama untuk reuni sekolah. Aku pun tidak pernah lama mengikuti arisan ibu-ibu kompleks, yang lebih suka berbincang masalah terlalu pribadi dalam basa-basinya.

Berkumpul bersama keluarga besar kerap aku hindari jika tidak penting-penting amat. Aku paling tidak kuat mendengar orang bertanya, "Kapan lagi? Kok ditunda-tunda? Keburu tua nanti!"

Usiaku sekarang menginjak empat puluh tahun. Kata orang, itu usia riskan untuk melahirkan. Jarang ada wanita umur segitu masih berani punya anak. Sebagian bahkan memutuskan berhenti bercinta.

Sebetulnya aku sangat ingin punya anak. Kendati sudah lima belas tahun lewat masa pernikahan, harapan punya momongan tetap masih ada. Kendati terkadang hilang dibawa angin. Hancur dirajam kenangan. Berhenti karena berbagai alasan.

"Kita belum punya rumah. Nanti saja punya bayinya," katamu waktu itu saat diriku sudah telanjang bulat di depanmu, pada malam tepat seusai pernikahan kita.

Aku selalu menantikan momen itu, yang kata temanku tidak bisa diceritakan oleh apa pun. Saat tubuh ini dibelai oleh sentuhan, dipeluk dalam rengkuhan, bertukar gairah dalam balutan keringat kehidupan. Tetapi, kau diam saja. Kau menolak meraba tubuhku. Kau biarkan aku kedinginan malam itu.

Aku bisa menerima jika alasan kita menunda punya anak karena ucapanmu. Memang, mau tinggal di mana anak kita nanti jika rumah ini hanya satu kamar saja? Apakah selamanya ia akan tidur seranjang dengan kita? Tidak bisa pula kita bebas bercinta jika ada dia.

Kau terus bekerja keras membanting tulang. Di samping pekerjaan tetapmu sebagai pegawai di perusahaan minyak itu, kau memutuskan membuka usaha dagang kecil-kecilan untuk menambah penghasilan.

Harus kuakui, kau ulet dan telaten. Kau buktikan perkataanmu, bahwa bila ingin cepat kaya, berdaganglah. Lewat lima tahun, kita telah pindah rumah. Sekarang, sudah ada tiga kamar. Kau ingin punya dua anak ya, pikirku.

Karena kurasa inginmu sudah tercapai, aku memutuskan menggodamu malam itu. Kulepaskan pelan-pelan satu demi satu seluruh pakaian yang melekat di tubuhku tepat di depanmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline