Rumah itu masih saja ramai. Kendati banyak orang di sana, semua menunggu dengan tertib, seperti kalangan terpelajar yang tahu tata krama. Lebih tepatnya, para penulis yang hobinya tentu membaca.
Mereka duduk berderet-deret di kursi antrean yang memanjang dari dalam teras rumah sampai keluar halaman. Saya diundang ke kota ini karena ingin membuktikan ucapan teman saya yang juga seorang penulis.
Apakah benar, pemilik rumah itu bisa membantu para penulis berkarya? Kata teman saya, ia jual khayalan. Iya, saya tidak bohong. Ia menjual khayalan.
Tidak ada palang di depan rumah itu yang menandakan bahwa ia seorang penjual. Tidak ada pula papan tarif dengan harga-harga tertentu yang dipasang untuk menilai jasa jualannya. Hanya dari omongan orang ke orang, semua bisa mengerti, jam berapa ia mulai berjualan dan berapa yang sekiranya pantas untuk dibayarkan padanya.
Saya termakan omongan teman saya. Di tengah persaingan para penulis yang semakin ke sini semakin muncul karakter-karakter hebat, di tengah bahan cerita yang kian terbatas dan itu-itu saja, saya sebagai penulis generasi lama tentu butuh penyegaran agar cerita yang saya agihkan -- lebih tepatnya cerpen -- tidak membosankan. Para pembaca tentu lebih suka dan rela menghabiskan uang mereka untuk membeli cerita paling unik dan cocok dengan selera.
Saya sudah duduk di dalam teras rumah penjual itu. Di samping saya, teman saya sedang menatap sebuah buku. Buku terbarunya, yang saya tahu tidak laku di pasaran karena kalah saing dengan penulis lain. Saya mendapat nomor antrean ke-50. Sementara antrean sudah sampai ke-48.
Secara pelan dan sedikit samar, saya bisa mendengar percakapan seorang pembeli dan penjual khayalan itu di ruang tamu yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat saya duduk.
"Selamat siang, Bapak," sapa penjual itu.
"Siang... siang...."
Pembeli itu menundukkan kepala berulang-ulang. Terlihat seperti ia menghormati penjual itu. Atau, ia memang sedang memasang tampang untuk berharap ditolong?