Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Putra Pertamaku

Diperbarui: 28 Agustus 2021   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi anak pertama, sumber: Thinkstock via detik.com

Aku tidak pernah memusingkan betapa besar biaya rumah sakit yang harus kutanggung untuk kelahiran putra pertamaku. Aku tidak terlalu menganggap keharusanku berjaga setiap malam di tengah badanku yang telah capai bekerja sebagai upaya yang terlalu melelahkan dan menguras tenagaku. Aku juga tidak hitung-hitungan atas tawaran proyek yang kulepaskan begitu saja karena aku harus menunggu pujaan hatiku berjuang menghadapi hidup dan mati, demi adanya buah hati kesayanganku. 

Aku hanya berharap perempuan di depan mataku ini tidak lekas-lekas sadar dari pemulihannya. Aku ingin ia tidur sedikit lebih lama, setidaknya tidak bangun akhir-akhir ini, sampai kondisinya tenang dan ia siap menerima semua masukan.

Aku tahu, bahkan sebelum aku menikah dengannya, ia memang paling sulit diajak berdebat. Bila hendak disebut keras kepala, mungkin demikian adanya. Ia suka mengatur segala penampilanku saat ke kantor. 

Bila ia menemukan sehelai rambutku tidak tersisir rapi, maka dengan tidak ragu ia akan berteriak, "Tengok dulu cermin itu! Sisir rambutmu! Jangan memalukan!"

Belum lagi soal aku yang tidak boleh pulang malam-malam. Kendati memang tidak bisa cepat pulang karena harus rapat dan lembur, ia terus menuduhku ada main serong dengan pegawai perempuan di kantorku.

Masalah masakan yang ia sajikan baik sarapan maupun makan malam, itu pun ia tidak terima jika ditegur tidak enak. Suatu kali pernah tanpa sadar, aku kelepasan bilang, "Asin sekali ini!" 

Tidak berapa lama, ia mengurungkan niat untuk memasak yang sebetulnya katanya adalah hobi. Aku pun bingung, bila hobi, seharusnya enak masakannya. Apa lidahnya memang payah dalam merasa?

Kalau soal mengulum, aku harus akui ia piawai. Ia memang paling hebat dalam memainkan lidahnya dalam mulutku. Selalu saja aku bergairah ketika ia sudah mengeluarkan sedikit ujung lidah pada sisi kiri bibirnya, lantas mengerjapkan mata dengan genit, dan tak berapa lama ia sudah telanjang di atas tempat tidur.

Syukurlah, dalam banyaknya -- entah sudah tidak terhitung -- usaha kami bercinta, sembari terus berkonsultasi dengan dokter langganan tentang bagaimana cara bercinta terbaik, akhirnya kami diberikan kesempatan untuk memperoleh dan membesarkan anak setelah melewati sembilan kali ulang tahun pernikahan.

Banyak yang senang atas kehadiran buah hatiku ini. Banyak pula yang turut campur untuk memberi nama baginya. Satu dua hanya melemparkan usulan sekenanya. Yang lain, lebih banyak dari itu, terus saja memaksa. 

Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengatakan pada istriku, permintaan orang-orang yang entah kenapa seperti sedang memberlakukan aturan yang tidak boleh dilanggar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline