Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Kotak Kematian

Diperbarui: 19 Agustus 2021   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kematian, sumber: Istockphoto via tirto.id

Jika bukan karena ibu masih hidup, saya mungkin sudah meninggalkan jauh-jauh hari pertemuan dengan anggota keluarga ini. Mereka entah dari mana, bisa begitu rumit mempermasalahkan hal-hal kecil, sampai tidak tahu waktu dan tempat.

Memang, saya terlahir paling akhir. Saya tidak tahu bagaimana lebih dahulu mereka dibesarkan. Saya pun tidak tahu, dari mana mereka belajar. Sejak peristiwa ibu jadi bisu setelah melahirkan saya, semua masih jadi pertanyaan. Jika ayah adalah sumbernya, saya tidak mungkin percaya.

Saya tahu sosok ayah. Kendati ia bekerja keras, berangkat dari pagi dan pulang sore hari, selelah-lelahnya bekerja, ia masih menyempatkan diri bermain dengan saya. 

Mengajak saya ibadah ke tempat ibadah dan berulang kali mengajarkan untuk berbagi. Saya tidak pernah lupa, bagaimana ayah selalu menyisihkan sebagian uangnya meskipun didapat sangat sedikit dari bekerja, untuk membantu anak yatim piatu lewat pemberian dalam kotak amal. Itulah rutinitas ayah sebelum kami meninggalkan tempat ibadah.

"Kalau kamu sudah besar, jangan lupa perhatikan anak yatim piatu," bisik ayah di telinga saya, sejenak setelah ia menggendong saya di atas bahunya. Ada tetesan air mata mengalir di pipi. Ayah sesekali malu saya lihat. Setelah besar, saya baru tahu dari paman, bahwa dulu ayah seorang anak yatim piatu.

Tidak mungkin saya rasa, sifat kakak dan abang turun dari ayah. Dari ibu tidak pula. Meskipun ibu punya kekurangan, ia tetap setia membuat kue untuk para orangtua yang sudah begitu sepuh, yang menikmati lebih banyak hidup saat masa tua, sendiri, di panti jompo. Ibu tidak perlu bicara tentang kebaikan. Perilakunya adalah pembicaraan paling hebat, yang sejauh ini saya lihat.

"Sudah kamu hitung?" seru abang sambil menunjukkan telunjuk. Saya terdiam di ruang tengah. Baru saja selesai membuka satu kotak. Ia memang layaknya seorang bos, berlagak terus seperti bos di keluarga ini. Suka perintah dan tidak mau bantu. Apa gara-gara anak pertama?

"Jangan lama-lama! Saya tidak punya waktu lagi!" sambung kakak yang juga begitu sombong, suka menyuruh-nyuruh dengan seenaknya. Dari tadi, ia duduk begitu santai di atas sofa empuk, sembari tidak henti melihat gawai.

Sementara ibu masih terdiam di kamar. Ibu belum bisa menerima kepergian ayah. Sehari kemarin, waktu acara perkabungan di pekuburan, saya melihat tanah makam ayah basah. Ibu mengambil selendang tipis sambil menyeka matanya.

"Sedikit lagi, Kak, Bang!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline