Sebagian kita mungkin akrab dengan Tes Potensi Akademik (TPA). Terutama, bagi yang telah duduk di bangku kuliah atau diterima bekerja. Tes ini kebanyakan dipakai guna ke sana. Menguji kemampuan calon mahasiswa atau calon pegawai.
Diselenggarakan oleh pihak universitas atau lembaga atau instansi. Dikerjakan oleh banyak peminat, sehingga suasana persaingan meskipun hening, sangat terasa di ruang ujian.
TPA terdiri dari tiga jenis, yaitu tes numerik, kemampuan literasi, dan soal gambar. Numerik berbicara seputar deret aritmatika, penjumlahan, pengurangan, akar kuadrat, dan seterusnya, dalam ruang lingkup logika Matematika.
Kemampuan literasi menitikberatkan daya baca peserta dan mengambil kesimpulan atas hasil bacaan. Semisal, apa kalimat utama dari sebuah paragraf. Tentang sinonim dan antonim pun ada. Semua hal terkait bahasa.
Soal gambar membutuhkan kejelian, karena memperhatikan beberapa gambar yang hampir sama. Bisa berupa penerusan motif gambar, pencarian gambar yang berbeda, dan lainnya.
Berbagi pengalaman
Dahulu, sekian tahun lalu, saya pernah mengikuti TPA untuk memasuki salah satu perguruan tinggi negeri. Saingannya lumayan banyak, menembus seratus ribuan orang.
Perguruan itu diminati dan menjadi salah satu favorit lulusan SMA. Tentu, sebesar nafsu saya ingin lulus, sebesar itu pulalah tekad saya belajar.
Saya tidak mengikuti bimbingan belajar khusus. Tetapi, saya mengulang-ngulang segala materi TPA tahun-tahun sebelumnya dan mencermati kesamaan karakteristiknya.
Ada sebagian pola terus berulang. Cara pertanyaan disajikan sebagian pun sama. Saya ingat betul bagaimana cara menjawabnya dan saya praktikkan waktu TPA berlangsung. Puji Tuhan, lulus.