Jalanan sekitar terminal mulai ramai. Orang-orang berdatangan, masuk peron, membeli karcis, memenuhi ruang tunggu. Sebagian saling bercakap, sebagian lagi sibuk membuka dompet.
Ada beberapa ibu dan bapak bertopi berdiri di tepi jalan. Tangan kanannya melambai-lambai seperti menyapa dan ingin menghentikan pengunjung yang datang. Tangan kirinya membawa segepok uang. Pada bahunya, tersampir sebuah tali berujung tas yang mengembang, penuh isi.
Satu dua orang mengeluarkan uang dengan jumlah nominal besar dari dompet. Dalam sekejap, uang itu tertukar menjadi bergepok-gepok uang lainnya. Ada guratan senyuman terlihat.
Dahulu, awal saya merantau ke Jakarta, tepatnya bersekolah di daerah Bintaro, kendati Nasrani, momen Lebaran saya ikutan mudik. Terminal yang saya datangi untuk pulang ke Jepara adalah terminal Lebak Bulus.
Fenomena seperti ilustrasi di atas pasti saya jumpai. Pertama saya heran. Apakah ibu atau bapak itu tidak takut memperlihatkan uang dengan begitu gamblang di depan banyak orang?
Apakah mereka tidak sayang nyawa, jika satu dua orang yang melihat menjadi tergiur dan melakukan tindak kejahatan untuk merebut uang-uang itu? Siapa mereka, sehingga sangat baik hati hendak membagi-bagikan uang? Waktu itu saya belum tahu, itu jasa penukar uang.
Mereka akan beredar dari depan pintu terminal, berjalan-jalan di antara para pengunjung di ruang tunggu, sampai masuk ke dalam bus, berdesakan bersama kumpulan penjual makanan ringan dan pengamen.
Keberadaan jasa penukar uang
Semakin ke sini, saya jadi paham. Ternyata mereka bekerja menukarkan uang. Mereka tidak hadir sepanjang waktu dan di mana-mana, tetapi hanya saat tertentu seperti menjelang hari raya dan di tempat tertentu yang dipenuhi orang-orang yang akan mudik seperti terminal atau stasiun.
Mereka terlebih dahulu pergi ke bank, bermodal uang seadanya, menukarkannya dengan bergepok-gepok uang kecil. Lalu, mereka akan menawarkannya kepada calon pemudik.