Sebagai anak perantauan, tinggal jauh dari orangtua, kerinduan bertemu niscaya selalu melanda. Beratus-ratus kilometer jarak yang memisahkan, tidak semudah itu ditempuh, pada saat sekarang.
Terlebih, ada larangan mudik ketika lebaran nanti. Sebagai warga negara yang baik, saya tentu mematuhi hal itu. Lebih parah lagi kerinduan saya pada orangtua. Tetapi tidak apa, demi kebaikan bangsa.
Orangtua saya tinggal satu, yaitu Mama. Berdiam di Jepara, dengan kedua kakak yang dekat dengannya. Sementara saya di Jakarta. Beliau sudah lansia umurnya, sehingga mobilitas ke mana-mana terbatas.
Selama Covid-19 terjadi, kami terus berhubungan lewat telepon, video call via WA, dan pesan. Saya usahakan sebisa mungkin tetap berkomunikasi, menjaga kehangatan ikatan antara ibu dan anak. Mama pun begitu.
Mama juga kerap memberi pesan dalam setiap perkataannya, waktu kami bertelepon. Sebagai anak, saya mendengarkan penuh. Pesan-pesan orangtua selalu berharga. Bagi beliau, itu harus saya kerjakan, semata-mata agar beliau mampu panjang umur, bersama kebahagiaan-kebahagiaan yang terus diharapkan.
Jangan bertengkar antarsaudara
Saya dan ketiga kakak juga berkomunikasi. Terkadang, ada hal-hal yang mengganggu di antara kami. Semisal, ada yang meminjam uang, ada yang tidak mengembalikan, ada pula yang bahkan meminta.
Mama selalu ingin kami bersaudara dengan baik. Saling membantu yang berkekurangan. Tetapi, Mama juga menegaskan, agar sedapat mungkin tidak merepotkan saudara. Bila bisa diusahakan sendiri, jangan meminta bantuan.
Tiap-tiap saudara punya keperluan masing-masing. Tiap-tiap saudara juga terbatas kemampuan finansialnya. Saya sendiri, jika ada uang berlebih, saya akan pinjamkan. Tetapi, jika tidak dikembalikan, saya akan perhitungkan untuk tidak meminjamkan lagi.
Saya sebetulnya bisa marah, karena piutang saya tidak dibayar. Namun, mengingat pesan Mama, daripada Mama tahu kami bertengkar, di mana itu akan mengusik pikirannya, lalu berimbas pada kesehatannya, saya memilih diam.
Berprestasilah