Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Ketika Ide Menulis Cerpen Habis

Diperbarui: 9 April 2021   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

"Bisa-bisanya otakmu kosong! Tulislah tentang saya. Biasanya kau pandai mengarang cerita. Biasanya kau pintar pula menghidupkan saya di depan orang-orang. Mengapa sekarang kau hanya diam membisu?" kata seseorang yang perlahan pergi dari kepala saya. 

Saya terpaku di atas meja. Melihatnya nanar dan semakin samar. Entah, dia pergi ke mana. Entah, mengapa dia pergi. Entah, apa lagi yang bisa saya tuliskan tentangnya. Bayangannya semakin menjauh.

Wahai para penulis cerita, rekan-rekan sealiran dengan saya, pernahkah Anda mengalami kehabisan ide? Sama sekali buntu? Di depan laptop, jari kaku tidak bergerak? Mata hanya menatapnya dengan layar kosong begitu saja, perlahan layu, dan kemudian mengantuk?

Lalu, Anda garuk-garuk kepala? Memijat-mijat dahi? Tanpa disadari, Anda lekas menutup laptop. Entah, apa yang Anda lakukan? Saya pun bingung. Bingung, tidak tahu mau menulis apa.

Penulis cerita bisa kehabisan ide. Mungkin karena gairah menulis hilang, kelelahan sebab aktivitas lain, atau sudah jenuh? Ini siklus yang wajar dialami kebanyakan penulis.

Tidak ada satu pun kata tertulis. Tidak ada konsep cerita terbangun. Tidak ada kreasi plot twist. Tidak ada dan tidak ada. Sementara di sisi lain, kemampuan menulis harus terus diasah.

Alah bisa karena biasa. Itulah kata-kata bijak kuno dan tetap relevan hingga sekarang. Bila kemampuan menulis tidak konsisten diasah, lama kelamaan akan tumpul. Tidak jarang, ada penulis yang sudah lama tidak menulis--padahal dia begitu hebat dulu, bingung mau menulis apa ketika pertama kali kembali ke dunia penulisan.

Kekhawatiran saya ke situ pun ada. Bagaimana kalau saya tidak bisa lagi menulis cerpen? Bagaimana kalau fantasi saya semakin buyar dan tak mampu membuat cerita yang memikat?

Membacalah

Mau menulis wajib membaca. Walaupun sudah banyak asam garam kehidupan yang potensial ditulis, kalau tidak membaca, tulisan akan berantakan. Apakah nyaman pembaca melihat pemilihan kata yang tidak pada tempatnya, kesalahan penulisan ejaan, tanda baca yang tidak tepat, apalagi untuk karya cerpen yang menghendaki tulisan itu hidup dan terasa begitu nyata?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline