Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Dari Cerpen, Saya Belajar Mencintai Masalah

Diperbarui: 8 April 2021   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Hai diari, saya mau berbagi kisah. Tolong dengarkan ya. Tidak lama kok. Tulisan ini tidaklah panjang.

Sebagian Anda mungkin geli dengan judul ini. Mengapa masalah malah dicintai? Bukankah orang berusaha menghindari masalah? Bukankah yang disukai adalah jangan buat masalah? Bila masalah terpaksa ada dan harus dihadapi, kita pun tidak ingin kalah dengan masalah. Maunya selesai baik dengan solusi ciamik.

Saya pun begitu. Dalam hidup, saya menemui banyak sekali masalah. Tidak hanya masalah sendiri, orang-orang di sekitar pun bermasalah. Ya, masalah selalu timbul dalam hubungan antarmanusia. Tidak semua bisa cocok, tidak semua mau belajar mengerti satu sama lain.

Tidak perlu jauh-jauh, dalam pikiran sendiri, masalah juga kerap ada. Semisal, kita tidak bisa menaklukkan otak yang overthinking. Ketakutan hidup yang terus membayangi. Kecemasan akan hari esok. Mau makan apa saya kalau pengangguran? Itu semua masalah.

Nah, sebagai cerpenis, dan Anda yang ingin menulis cerpen, kita bisa manfaatkan masalah ini. Ini begitu berguna untuk memperlancar penulisan cerpen. Mengapa?

Ide cerita

Apakah semua cerpen harus ada masalah atau konflik? Saya jawab tidak. Tetapi, kebanyakan cerpen para pengarang besar yang telah saya pelajari, semua mengandung konflik.

Mereka berusaha menuliskan konflik dengan segala keunikannya, melalui latar belakang cerita yang tentu disajikan menarik. Masalah cinta, persaudaraan, kekeluargaan, masalah dalam khayalan--hanya imajinasi dan tidak mungkin terjadi, sampai masa depan yang dalam pikiran masih buram.

"Kamu jangan nyanyi di pub!" sergah wanita tua itu di depan anak gadisnya. "Keluarga kita semuanya cendekiawan. Kamu harus sekolah dan sekolah! Jangan lulus SMA malah cuma nyanyi doang. Mau jadi apa kamu? Ibu sudah capek dengan obrolan tetangga. Kamu itu dikira anak nakal."

 Wanita tua itu berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk. Anak gadis di depannya menunduk. "Mengapa bernyanyi tidak boleh? Mengapa kesukaan saya dilarang?" gumamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline